Angin mengetuk Ramadhan, menyeru pulang, waktu nafsu mengetik tanpa jeda, setelah merawat kenyang, aku lupa ada masa lapar, juga retak dahaga, sebab kehidupan sering dilarut tenang, sesekali disapu ombak, ketika kehidupan bukan selalu riang, susah itu selalu dikenang, bagaimana sebentuk kata harus berjuang.
Belajar dahaga, mengajari gurun mencintai lamun akan senja ketika gelap mengasah dingin.
Belajar lapar, membaca paceklik, bertahan pada wereng, bahwa kesusahan itu, meraut harapan menjadi runcing dan tajam.
Angin mengetuk Ramadhan, saat mengundang nestapa berikanlah dia bunga sehingga berwarna.
Di waktu-Mu kami berpeluk, lapar-dahaga tak mungkin memberi jeda, agar kami lupa berpagut.
Angin mengetuk, aku mengetik kata untuk berbagi, karena susah senang hanya dalam selarik kata, mencoba tersenyum melarut kagum, Yang Kuasa memberi jeda, pada masa yang ranum.
2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H