Hari ini kelasku sedang mengadakan pemilihan ketua kelas baru. Calon ketua kelas pertama Anto. Dia anak berbadan paling besar di antara anak-anak lain.Â
Dia suka membantu teman bila diganggu anak kelas lain. Tapi dia juga suka mengganggu anak sekelasnya. Ah, kucoret namanya sebagai calon pilihanku!
Calon ketua kelas kedua Amran. Dia anak pak camat. Dia suka berbuat baik, membantu anak-anak saat mengalami kesusahan, terutama masalah uang. Ronald pernah tidak memiliki uang jajan saat di kantin. Amran tanpa merasa rugi meneraktirnya makan lontong.Â
Aku juga sering menumpang mobilnya saat berangkat dan pulang sekolah. Rumah kami berdekatan. Ibunya  dan Amran sering berkunjung ke rumahku. Setiap datang, mereka selalu membawa buah tangan. Pokoknya asyik. Rumahku menjadi penuh makanan. Paling asyik lagi, Amran sering membawa permen-permen coklat yang dibeli ayahnya di kota. Harganya mahal. Bentuknya unik dan rasanya enak.
"Nah, ini mobil-mobilan untukmu. Ayah membelikannya dua, satu untukmu, satu untukku," kata Amran saat berkunjung ke rumahku kemarin. Mobil-mobilan itu sangat bagus. Aku tak pernah melihat mobil-mobilan seperti itu di pasar kalangan1). Dia dibeli ayah Amran saat pergi keluar negeri. Dia bisa berbunyi seperti mobil ambulance, dan mampu jungkir balik saat membentur sesuatu.Â
Ah, sepertinya Amran pilihan terbaik. Aku manggut-manggut sambil menyuapkan nasi uduk. Kantin kebetulan ramai anak-anak. Sebagian besar membicarakan siapa yang cocok menjadi ketua kelas masing-masing. Setiap pergantian tahun ajaran, seluruh kelas mengadakan pemilihan ketua kelas. Pokoknya asyik.Â
Terkadang ada anak-anak yang berantem karena menjagokan calonnya masing-masing. Aku sih paling tak suka berantem hanya karena menjagokan calon ketua kelas. Dalam persoalan lain, aku pun tak suka. Untuk apa berantem hanya mencari musuh saja!Â
"Ir, kau mau milih siapa calon ketua kelas kita?" tanya Ronald sambil duduk di sebelahku. Dia makan somay dengan asyiknya. Kalau sedang makan somay, dia sering lupa kenyang.Â
"Hmm, siapa, ya? Sepertinya bagus-bagus." Aku mengetuk-ngetuk pelan pilipis kiri dengan jari telunjuk seperti seorang profesor. Â Tik, tok, tik, tok, Ronald sampai kesal, lalu menyikut lenganku. "O, iya, kebanyakan berpikir, nih! Sepertinya aku akan memilih Amran. Dia baik hati dan anak orang kaya." Aku membayangkan jika menjadi ketua kelas, Amran akan sering membawa oleh-oleh ke kelas, dan aku ikut menikmatinya.
"Aman?" Suara Rondald mengecil. Keningnya mengerut, bibirnya mengerucut. Aku tertawa geli. Ronald selalu bersikap seperti itu bila tak senang terhadap sesuatu. "Baik sih baik si Amran itu. Tapi..."
"Tapi, kenapa? Kau juga pernah merasakan kebaikannya saat ditraktir lontong. Iya, kan! Tak boleh lho melupakan kebaikan orang." Aku tersenyum menang sambil menyilangkan tangan di depan dada.