Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gerobak Bakso

30 April 2019   09:37 Diperbarui: 30 April 2019   09:41 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara itu menggema lagi memukul-mukul lorong hatiku. Tapi aku masih saja terus berdiri di sini. Lumayan, pembeli lagi mengantri. Kalau aku pergi demi memenuhi kehendak suara itu, aku akan kehilangan banyak pembeli. Mereka mungkin merasa disepelakan, kemudian mendendam untuk tak singgah lagi di gerobak baksoku. Lagipula kasihan, mereka sedang kelaparan. Mereka hanya memiliki waktu yang sempit di sela jeda kantor atau toko tempat mereka bekerja demi mengganjal perut dengan menikmati baksoku yang kata orang terkenal super lezat.

"Ris, kau tak shalat dulu? Dengar tuh, sudah azan!" Rahib sudah mengenakan topi haji dan menyelempangkan sarung di bahu. Dia juga seorang penjual bakso seperti aku. Tapi dia selalu beranjak pergi setiap kali mendengar suara azan menggema dari Masjid Agung. Seringkali dia mengatakan, shalat di awal waktu lebih dihargai Allah ketimbang di akhirnya. Lagipula bisa sekalian berjamaah. Perkara rejeki, Allah yang mengatur.

"Duluanlah! Aku sebentar lagi ke sana. Tuh, pembeli lagi mengantri!"  ucapku. Rahib mengedikkan bahu sambil bergegas pergi. Aku bersyukur dia lebih mementingkan memenuhi panggilan Allah ketimbang melayani pembeli. Berarti aku selangkah lebih maju. Seluruh pembeli akan masuk ke gerobak baksoku. Mereka kemudian memilihku sebagai penjual bakso paling top. Paling mementingkan kebutuhan pembeli.

Benar saja, orang-orang itu langsung menyerbu gerobak baksoku. Meminta bakso saja, meminta dicampur mie, meminta dibanyakkan saos, dibanyakkan sambal, jangan terlalu pedas! Wah, sepertinya aku harus memiliki tangan lebih dari dua. Seharusnya Allah bermurah hati memberiku tangan empat atau enam, agar aku lebih mudah melayani pembeli. Begitu sering terbersit pikiran konyol di benakku.

Uff! Melelahkan! Peluh menganak sungai di keningku. Pembeli silih berganti duduk di bangku panjang itu. Sebagian malahan rela berdiri sambil berbincang dengan temannya. Pembeli itu, menurutku ada yang berjanji sebagai pelanggan tetapku, karena mereka mengangkat dua jempol tangan atas kelezatan baksoku. Hmm, ini memang keahlianku. Tiada duanya di lorong pasar yang becek ini. Kecuali mungkin bakso Rahib bisa menyamaiku. Tapi aku tahu dia tak murni berusaha sendiri mengadon baksonya. Kami tinggal di bedeng sewaan yang berdempetan. Maka wajar saja aku mencurigai sekali waktu dia berhasil mencuri-curi resep rahasiaku.

"Belum shalat, Ris?" Di sela-sela melayani pembeli, Rahib bertanya. Aku baru sadar dia sudah pulang dari masjid. Roman wajahnya cerah. Masih ada tetes demi tetes air di rambutnya. Barangkali usai shalat, dia meraupkan air ke rambut agar otak dan kepalanya dingin melayani pembeli.

"Belum! Kau lihat pembeliku berjubel. Kasihan mereka," ucapku. Semangkok bakso langsung berpindah dari tanganku ke tangan pembeli.

"Bukannya kasihan kepada dirimu sendiri, Ris? Ya, kasihan kalau-kalau rejekimu kabur. Tapi menurutku, lebih baik tunaikan dulu shalat. Selepas itu kau bekerja serius. Tak melulu memikirkan akan shalat sebentar lagi. Tak melulu bimbang meninggalkan gerobakmu yang ditongkrongi pembeli."

Batinku menggerutu. Pasti si Tembem ini ingin merebut pembeliku. Selangkah saja aku bergerak meninggalkan gerobak baksoku, seluruh pembeli akan berpindah ke gerobaknya. Berarti impas sudah. Pembelinya yang tadi berlari ke gerobakku, diganti pembeliku yang berpindah ke gerobaknya. Aku tak ingin itu terjadi. Biarlah pembeli bakso Rahib yang hilang, sementara aku tidak. Allah pasti sangat memahami hamba-Nya. Mencari rejeki itu adalah perintah. Berjihad. Jadi, Allah maklum kalau hamba-Nya terlambat melaksanakan shalat karena sibuk berjihad.

Waktu berjalan cepat. Sejam setelah shalat lohor. Dua jam sesudahnya, sehingga nyaris menyambut shalat ashar. Rahib kembali mengingatkan. "Hampir ashar, Ris! Pergilah!"

"Tanggung, Hib! Tak kau lihat perempuan gemuk itu. Kasihan, tahu!" Aku tetap mengotot. Rahib menoleh ke arah perempuan gemuk itu. Ya, ya, Rahib pasti merasa kasihan juga sepertiku. Tentu manusia super lapar seperti perempuan itu, akan merasa terganggu bila laparnya yang sangat terganjal. Aku menebak dia juga emosian. Sekali saja aku memintanya berpindah ke gerobak bakso Rahib, maka aku harus siap-siap dibentaknya. 

Suara itu menggema lagi memukul-mukul lorong hatiku. Waktu ashar tiba. Rahib mengingatkan, lebih tepatnya memarahiku. Dia mengatakan aku telah lalai menjalankan perintah Allah. 

"Kau telah kehilangan shalat lohor, Ris!"

"Ah, hanya sekali, Hib!" Pembeliku mulai sepi. 

"Sekali kau bilang? Yang kemarin-kemarin bagaimana?"

"Ah, kau seperti tak tahu pembeliku berjubel!" kilahku. Pembeli kembali berdatangan.

"Sekarang shalat ashar sama-sama. Tutup dulu daganganmu." Rahib setengah memaksa.

"Rejeki datang, Hib!" Aku tak menoleh lagi kepada tetanggaku itu. Wajah-wajah lapar pembeli membuat naluri dagangku terlecut. Langsung tak kuperdulikan Rahib apakah dia sudah mengenakan peci haji dan menyelempangkan sarung di bahu. Peduli amat!

Hmm, aku tersenyum lega. Rejeki dari dulu dan sekarang bertumpuk dan semakin bertumpuk. Aku telah menyisihkan sebagian untuk modal pulang kampung kemudian bertemu istri dan anakku. Oh, ya, sudah berapa lama aku tak pulang menjenguk mereka?. Sebulan, dua bulan? Ya, Allah, hampir empat bulan. Tak terasa rinduku menggumpal menyesak dada. Aku bersalah telah meninggalkan mereka sekian lama, selain hanya sesekali menelepon mereka lewat warung telepon.

Akhirnya, pukul enam petang semua bubar. Aku tak sadar Rahib sudah selesai merapikan tempat jualannya, dan seluruh barang-barang, kecuali gerobak, telah berada di atas becak langganannya. Dia melirikku. Dia tersenyum. Pasti dia ingin bertanya apakah aku sudah shalat ashar. Tapi cepat-cepat diurungkannya. Dia yakin aku tentu hanya menjawab; belum!

Aku mengikuti ritualnya. Meletakkan barang-barang di atas becak langgananku. Meminggirkan gerobak hingga menyentuh dinding toko yang sudah tutup, kemudian meraba-raba dompet pinggang yang sudah penuh. Wah, sedikit lagi niatku akan tersampaikan.  Melihat istriku sumringah setelah kugenggamkan ke tangannya kalung emas delapan belas karat yang pernah diingatkannya kepadaku terakhir kali aku meneleponnya. Mendengar jerit senang anakku ketika melihat di tangan bapaknya ini ada sepeda mini impiannya. Empat bulan lalu dia dengan berseloroh mengatakan kepadaku ingin memiliki sepeda mini. Itu pun kalau akhirnya aku mempunyai cukup uang untuk membelikannya. 

Istriku, aku memenuhi janji seorang suami. Anakku, bapakmu ini telah berhasil mewujudkan anganmu.

Aku mengikut langkah kaki Rahib yang tegas dan gegas. Kaki itu telah lama terpacak menungguku. Sedemikian sabar seperti pemiliknya yang berulangkali tabah menyuruhku shalat tepat waktu. Aduhai, apa yang dituturkannya berulang-ulang kepadaku adalah benar. Tentang shalat tepat waktu. Tentang shalat berjamaah.

Selama kami sama-sama di kampung, sebenarnya boleh dibilang akulah yang paling dekat dengan masjid. Dekat dengan masjid, bukan berarti rumahku hampir berdempetan dengan masjid. Tapi jiwaku yang seolah asyik-masyuk memenuhi seantero rumah Allah itu. 

Aku paling senang itikaf di sana sekali seminggu, sejak isya sampai selepas shubuh. Aku hampir tak pernah terlambat shalat fardu dan sekaligus merampungkannya dengan berjamaah. Aku selalu lebih dulu memegang mikrofon sementara Rahib masih di rumahnya. Kami seolah berlomba-lomba azan. 

Tapi sekarang, setelah pelanggan baksoku lumayan melimpah, aku telah berulangkali tak shalat fardu. Memang shubuh, maghrib dan isya, tetap kulaksanakan meski lebih sering terlambat. Pastinya aku tak melaksanakannya dengan berjamaah. Tak seperti Rahib yang selalu menyempatkan diri mengunjungi mushalla yang tak jauh dari bedeng sewaan kami. Bahkan kerap aku mendengar suaranya yang merdu ketika azan. Ah, semoga Allah memaafkanku. Semoga Dia memahami betapa aku butuh uang banyak demi memenuhi kehendak anak-istriku.

"Ris, kita shalat maghrib dulu di Masjid Agung, ya! Sudah hampir azan, nih!" Rahib menghadang langkahku.

"Ah, aku di rumah saja. Capek, Hib! Biarlah barang-barang kita aku yang mengiringi sampai ke bedeng."

"Shalatlah dulu! Tukang becak juga sabar menunggu. Lagipula kita berempat bisa shalat berjamaah bersama-sama," sarannya. Dua tukang becak itu menatapku bersaling-silang menatap Rahib dan barang bawaan di becak masing-masing. Aku yakin mereka enggan menuruti kemauan Rahib. Kutahu mereka puasa saja malas, apalagi sampai shalat fardu, apalagi hingga harus berjamaah.

"Badan lengket, nih!"

Rahib tersenyum sambil beranjak meninggalkanku dan dua tukang becak yang langsung gigih mengayuh becak masing-masing. Tak sampai setengah jam seluruh barang-barang sudah sampai di halaman bedeng sewaan. Rahib juga telah bersama kami, memasukkan barang-barangnya ke bedengnya. Sementara aku memasukkan pula barang-barangku ke bedengku.

"Jangan lupa shalat maghrib!" Rahib mengingatkanku. Aku mengangguk ragu-ragu. Kututup rapat pintu bedengku. Aku duduk berselonjor di lantai sambil menghitung penghasilan dari dompet pinggangku. Lumayan banyak. Kutambahkan dengan uang di dalam kotak simpananku. Sepertinya cukup membeli sebuah sepeda mini sederhana dan kalung emas delapan belas karat. Besok pagi aku akan libur berjualan. Kemudian membeli sepeda dan kalung itu di pasar. Petang hari barulah pulang ke kampung menumpang bis malam.

Khayal yang melambung ini, membuatku tak sadar berbaring di atas lantai dan terlelap. Aku tak sadar, sehingga pagi-pagi benar aku merasa seseorang telah mengguncang-guncang bahu sambil memanggil namaku dengan nada panik.

Kukucek mata. Kulihat orang itu adalah Rahib. Matanya melotot. Wajahnya pasi. Katanya, "Kau lupa menutup pintu bedeng ini ya? Atau adakah maling yang masuk ke mari? Kau merasa kehilangan apa-apa tidak?" Dia memberondongku. Kulihat pintu terkuak lebar.

Aku baru seratus persen terbangun saat menyadari kotak simpanan dan dompet pinggangku telah kosong melompong. Hasial pencarianku selama empat bulan telah raib. Pasti maling telah menggondolnya. Aku teringat hanya merapatkan  tanpa mengunci pintu bedeng tadi malam. Ya, Allah, lututku lemas. Hilang sudah harapanku pulang kampung  dan memenuhi keinginan anak-istriku.

"Ada barangmu yang hilangkah?" tanya Rahib.

Aku diam.

"Kau sudah shalat shubuh?"

Aku membisu.

-Sekian-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun