Bertahun aku melanglang buana di Jambi. Sekian tahun kemudian menempuh pendidikan di tanah Jawa. Berbagai rupa kehidupan telah menempaku menjadi kuat dan berani. Berbagai lelaki yang singgah silih berganti, menjadi teman atau yang coba-coba mengikat hatiku. Akhirnya aku berlabuh ke dekapan Mirzal, lalu menjadi istrinya, dan ibu yang baik bagi dua anakku.Â
"Bu Fatma?" Terdengar suara nyaring dari seberang ketika telepon kuangkat.
"Iya, ini siapa?"
"Fifit! Masa' lupa, Bu! Saya teman Ibu sekomplek dulu saat di Palembang. Lupa?"
Memori di kepala kuaduk-aduk. Aku belum menemukan nama Fifit. Entah terselip di mana dia. Fifit, Fifit! Siapa, ya? Jeritan anakku dari ruang makan, membuatku dengan berat hati memutuskan perbincangan. Fifit berjanji menghubungiku lagi dalam waktu dekat.
"Kau masih ingat Fifit?" Kali ini mama yang menelepon dengan suara serak. Belakangan ini dia kerap diserang batuk. "Kemarin Mama bertemu dia dan ibunya di pasar. Eh, bincang-bincang agak lama, dia menanyakan nomor teleponmu. Sudah kau telepon dia? Dia belum menikah, dan ikut orangtuanya di rumah kita yang dulu." Mama seolah memborbardirku tanpa ada kesempatan bagiku menyela.
"Fifit? Aku lupa!" Aku mengernyit.
"Iyalah! Nanti bisa diingat-ingat lagi. Mama dan papa berencana ke Palembang Kamis lusa. Kau ikut, ya? Ajak anak-anak dan suamimu. Oke?"
Aku terpaksa mengangguk-angguk serupa beo, entah untuk apa dan siapa. Tapi aku tak bisa menampik ajakan mama. Bagaimanapun, dari hari Kamis sampai Minggu adalah libur bersama di seluruh jajaran pekerja pemerintahan.Â
Kebetulan juga anak-anak sedang liburan selepas ulangan. Tak apa-apalah. Sekalian melepaskan rindu dengan kuliner Palembang yang selalu tak lepas dari ikan.
Fifit dan keluarganya menyambut kami dengan sukacita. Mama menyelidik dan berdecak kagum karena melihat mantan rumah kami masih sesuai aslinya. Hanya beberapa bagian yang diganti catnya. Juga pintu depan rumah diobah menjadi dua daun atau pintu kupu-kupu. Dulu hanya satu daun saja.