Aku tak pasti berusia berapa saat itu. Entah empat, lima atau enam tahun. Dan seperti kebanyakan teman yang bertetangga dekat denganku, permainan yang paling mengasyikkan bagi kami adalah bermain-main di kamar mandi.Â
Memercik-mercikkan air ke dindingnya, membuat gelembung-gelembung  dari sabun, mencoba bernapas di air bak, hmm. Itulah maka aku paling betah di kamar mandi. Bahkan saat pup, karena kakus keluargaku menyatu dengan kamar mandi, sengaja kulama-lamakan. Mama seringkali menjadi kesal dan mencubit pelan lenganku. Hingga di suatu hari yang mendung, terucaplah kata-kata mama, bahwa di dinding kamar mandi ada hantu bergentayangan.
Baca juga: https://www.kompasiana.com/rifannazhif/5cc2ced3cc528352f7520f6c/koridor-rumah-sakit
Aku lari terbirit-birit, hingga membuat mama senang. Dia tak tahu aku sangat ketakutan. Di hari-hari lain tatkala ingin mandi, aku memilih mandi di tempat cucian pakaian, atau pup ditadahi plastik kresek. Mama sampai menggeleng-geleng kesal, lalu menyalahkanku. Padahal yang patut disalahkan adalah dia. Dia yang membuat cerita tentang hantu bergentayangan itu.
Dia lupa, apa yang terucap dari mulutnya seolah mantra. Sehari setelah ancamannya tentang hantu itu, memang tak membuatku takut. Aku masih betah berlama-lama memainkan buih sabun. Namun saat membenamkan kepala ke dalam air di bak, tiba-tiba aku melihat sebelah tangan keluar dari dinding. Menyusul sebelah kaki berbulu. Aku ngibrit dan bersembunyi di kolong tempat tidur.
"Di kamar mandi ada hantu, Ma!" Begitu kataku saat mama memaksaku pup di kamar mandi.
"Hantu dari mana? Tak ada itu!"
Aku kemudian sering menahan pup sampai perut terasa kembung. Aku mulai jarang mandi. Papa yang mengetahui kondisiku, berbalik mencecar mama dengan berbagai pertanyaan dan pernyataan. Dia menanyakan mengapa aku tak berani ke kamar mandi, dan memilih mandi di tempat cucian pakaian, serta pup diplastik kresek. Dia memastikan mama telah menakut-nakutiku. Mama mengelak. Dia tak mau disalahkan.
Begitupun aku tak ingin berbohong, apalagi bermain-main dengan dunia imajinasiku. Tangan dan kaki yang keluar dari dinding kamar mandi memang benar adanya. Bahkan ketika suatu hari papa menyeretku ke sana, kulihat beberapa hantu merayap di dinding. Sesosok hantu malahan terbang di atas kepala papa, dengan mulut menganga siap melahap kepalanya yang botak.
Mujur bagiku, papa memutuskan pindah rumah ke provinsi tetangga. Memang dia tak dipaksa untuk pindah, melainkan diberikan pilihan oleh atasan apakah mau pindah ke Jambi atau tetap bertugas di Palembang. Papa memilih ke Jambi dengan senang hati. Dia berbisik kepadaku, bahwa tujuan utama kami pindah adalah demi menjauhkanku dari kamar  mandi yang kuanggap berhantu itu. Agar aku tak menjadi pengecut. Tapi sekali lagi kutegaskan, hantu kamar mandi itu memang ada.
* * *