Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tembang Pematang Siojo

18 April 2019   12:41 Diperbarui: 18 April 2019   13:03 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Yah, gagal dong berita hangatnya. Tapi tak apa-apalah. Yang penting kau sudah berusaha, Mah!" Aku masih berusaha bercanda mendengar keseriusan Imah.

"Tapi aku tanpa sengaja melihat Ikram sedang berjalan berdua dengan seorang cewek, Yam. Akrab banget! Gaya Ikram sudah kekota-kotan, Yam."

"Kenapa kau tak menegurnya?"

"Buat apa? Nanti malahan mengganggu mereka." Dia menepiskan tangan. "Alah, lupakanlah Ikram, Yam. Lupakan cita-citanya. Lupakan rasa cintanya?"

"Cinta? Memangnya dia mencintaiku? Lagi pula untuk apa memikirkan cinta-cintaan? Kami hanya teman. Sebatas teman. Ingat, ya!" Aku melotot. Imah cemberut. Ketika tawanya berderai, ada rasa sakit yang menyelip di hatiku. Apapun ceritanya, kedetakan antara Ikram dengan cewek kota, telah membuatku cemburu. 

Ah, kenapa bisa begini? Kenapa aku yang kege-eran? Belum pernah sekalipun Ikram mengungkapkan cinta kepadaku, kecuali tentu saja sebatas rasa kagum. Kenapa aku ingin yang lebih dan sangat serius? Iyam, Iyam! Sadarlah!

Aku terjerat bayang-bayang Ikram hari demi hari. Semakin kucoba melupakannya, semakin lekat rasa cinta bercampur cemburu menggerogoti dada. Di akhir kecamuk rasa, aku mendadak menemukan rasa benci kepada Ikram. Bukan karena dia---mungkin---berpaling ke lain hati, melainkan dia telah melupakan cita-citanya menjadi seorang guru dan termakan hasutan kota.

* * *

Sas-sus kedatangan Ikram membuat hatiku tak karuan. Aku berusaha sedapat mungkin menghindari pertemuan dengannya. Walaupun Imah berkali-kali menceritakan penampilan Ikram yang berbeda, aku berusaha seperti kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak. Tahu.

Hari-hariku hanyalah di rumah dan sekolah. Tak ada lagi rutinitas mengunjungi pematang Siojo, meskipun ada kabar bagus bahwa panen bunga rumput sedang tiba. Banyak anak-anak berebut salju-salju itu sambil bermain layang-layang. Selain cuaca bagus, angin cukup kencang sekadar membubungkan layang-layang ke puncak yang tertinggi.

"Kau tak ke pematang, Yam?" sapa Emak dari ruang tengah. Aku pura-pura tak mendengar dan mencoba asyik dengan majalah cerpen remaja sambil tengkurap di atas kasur. "Kau juga belum bertemu Ikram? Kemarin dia menunggumu di depan rumah. Tapi karena takut melihat bapakmu yang baru pulang dari pasar, dia buru-buru pergi. Padahal kau mendengar dia memanggilmu, kan?" Bapak memang sejak dulu tak menyenangi Ikram. Bukan karena kondisi keluarganya yang lebih miskin dari kami, melainkan bapak Ikram, biasa dipanggil Pak Iis, adalah mantan rivalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun