"Yah, gagal dong berita hangatnya. Tapi tak apa-apalah. Yang penting kau sudah berusaha, Mah!" Aku masih berusaha bercanda mendengar keseriusan Imah.
"Tapi aku tanpa sengaja melihat Ikram sedang berjalan berdua dengan seorang cewek, Yam. Akrab banget! Gaya Ikram sudah kekota-kotan, Yam."
"Kenapa kau tak menegurnya?"
"Buat apa? Nanti malahan mengganggu mereka." Dia menepiskan tangan. "Alah, lupakanlah Ikram, Yam. Lupakan cita-citanya. Lupakan rasa cintanya?"
"Cinta? Memangnya dia mencintaiku? Lagi pula untuk apa memikirkan cinta-cintaan? Kami hanya teman. Sebatas teman. Ingat, ya!" Aku melotot. Imah cemberut. Ketika tawanya berderai, ada rasa sakit yang menyelip di hatiku. Apapun ceritanya, kedetakan antara Ikram dengan cewek kota, telah membuatku cemburu.Â
Ah, kenapa bisa begini? Kenapa aku yang kege-eran? Belum pernah sekalipun Ikram mengungkapkan cinta kepadaku, kecuali tentu saja sebatas rasa kagum. Kenapa aku ingin yang lebih dan sangat serius? Iyam, Iyam! Sadarlah!
Aku terjerat bayang-bayang Ikram hari demi hari. Semakin kucoba melupakannya, semakin lekat rasa cinta bercampur cemburu menggerogoti dada. Di akhir kecamuk rasa, aku mendadak menemukan rasa benci kepada Ikram. Bukan karena dia---mungkin---berpaling ke lain hati, melainkan dia telah melupakan cita-citanya menjadi seorang guru dan termakan hasutan kota.
* * *
Sas-sus kedatangan Ikram membuat hatiku tak karuan. Aku berusaha sedapat mungkin menghindari pertemuan dengannya. Walaupun Imah berkali-kali menceritakan penampilan Ikram yang berbeda, aku berusaha seperti kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak. Tahu.
Hari-hariku hanyalah di rumah dan sekolah. Tak ada lagi rutinitas mengunjungi pematang Siojo, meskipun ada kabar bagus bahwa panen bunga rumput sedang tiba. Banyak anak-anak berebut salju-salju itu sambil bermain layang-layang. Selain cuaca bagus, angin cukup kencang sekadar membubungkan layang-layang ke puncak yang tertinggi.
"Kau tak ke pematang, Yam?" sapa Emak dari ruang tengah. Aku pura-pura tak mendengar dan mencoba asyik dengan majalah cerpen remaja sambil tengkurap di atas kasur. "Kau juga belum bertemu Ikram? Kemarin dia menunggumu di depan rumah. Tapi karena takut melihat bapakmu yang baru pulang dari pasar, dia buru-buru pergi. Padahal kau mendengar dia memanggilmu, kan?" Bapak memang sejak dulu tak menyenangi Ikram. Bukan karena kondisi keluarganya yang lebih miskin dari kami, melainkan bapak Ikram, biasa dipanggil Pak Iis, adalah mantan rivalnya.