Pukul 10.00 WIB.
Membosankan! Beberapa kali Mir meneleponku. Beberapa kali aku memintanya bersabar. Pesawat yang kutunggu belum mendarat. Hingga barusan kukabarkan kepadanya bahwa pesawat delay tiga jam.Â
Dia mengamuk. Seperti ada suara yang dibanting. Kumatikan ponsel setelah nyaris tak terdengar lagi suara apa-apa. Pasti dia marah besar.
Iseng-iseng aku keluar dari ruang tunggu. Tak enak rasanya di udara panas menyengat begini, ikut-ikutan menaikkan tensi darah seperti orang-orang yang tak sabaran itu. Pesawat sudah delay. Untuk apa ribut-ribut.Â
Kembali aku menapaki kota ini setelah sewindu berlalu. Kalau saja pesawat tak delay, mungkin aku tak mengalami ini, mengulang kenangan-kenangan yang indah kendati tak bersama Sofran.Â
Tujuanku sebenarnya ke kota Medan. Kota ini hanyalah tempatku transit untuk melanjutkan penerbangan dengan pesawat lain.Â
Seseorang tiba-tiba setengah berlari mendatangiku. Seperti sosok Sofran. Ah, bukan! Aku hanya berhalusinasi. Dia adalah lelaki setengah baya, dengan kepala ditutup uban setengah merata. Senyumnya ramah. Tubuh jangkungnya memayungiku.
"Nyonya Yulia, kan?" Begitu yakin orang itu menyebut namaku. Kepalaku terasa berpusing. Bagaimana mungkin ada seseorang yang mengenalku setelah sewindu tak menjejak kota ini. Lagi pula, memoriku tak pernah menyimpan wajahnya.
"Ya, saya memang Nyonya Yulia. Anda siapa!"
"Sofran!" Dia gugup. Kemudian meralat ucapannya, "Oh, maaf. Maksud saya kawan Sofran. Saya hanya ingin menyampaikan ini kepada anda. Pemberian Sofran. Maaf, barang ini sudah terlalu lama bersama saya. Mungkin ya...sedikit lecek." Dia mengangsurkan sebuah kotak bersampul beludru. Aku bimbang. Dia begitu saja menggenggamkan benda itu ke tanganku. Lalu, "Oke, barang titipan sudah sampai kepada anda. Terima kasih. Permisi."
Aku mencoba melambai dan memanggilnya. Tapi dia sudah menghilang. Aku terlalu lama terpana, hingga tak menyadari tubuhnya lesap di antara mobil-mobil yang terparkir.