Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dunia Khayal Yenny

6 April 2019   20:35 Diperbarui: 6 April 2019   20:51 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Hampir sebulan ini tingkah-laku anak saya, Yenny, aneh. Pertama, dia senang mengigau. Akibatnya aktifitas tidur malam saya menjadi terganggu, dan alangkah mengantuk saya saat bekerja di kantor esok harinya. Bik Onah juga kerapkali mengabarkan bahwa Yenny suka mengigau ketika tidur siang. Kedua, Yenny juga senang bermain sendiri. Sudah sering saya memergokinya mengobrol sendiri entah dengan siapa. Ketika saya bertanya, dia langsung sumringah sambil memperkenalkan teman-temannya.

"Ini Igor, teman Yenny. Orangnya hitam, jelek!" Dia tertawa. "Tapi giginya lengkap, tak seperti Yenny yang ompong." Saya elus rambutnya. Saya tak faham apakah senyuman saya itu murni untuk untuknya. Karena jujur saja, pikiran saya tengah mengambang.

"Ini Ila. Dia putih bersih. Ketawanya besar. Tapi kasihan, jempol jari kaki kanannya puntung. Tapi dia baik. Dia sering membawakan Yenny makanan. Itu, dia membawakan Yenny kue!" Dia menunjuk sesuatu dengan bibirnya yang sekejap meruncing. Saya lihat setumpuk pasir di atas piring seng di sudut teras. Piring itu milik si Manis kucing kesayangan Bik Onah. 

Tak ingin Yenny bermain kotor, saya langsung membuang pasir itu ke dalam pot bunga. Anak saya itu marah. Dia menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Katanya saya jahat. Saya menyabarkannya. Saya katakan bahwa makanan itu sudah basi dan berulat. Dia akhirnya diam, dan tak mau berbiacara lagi kepada saya. Dia kembali sibuk dengan teman khayalnya.

Saya heran, dalam silsilah keluarga saya maupun istri, tak seorang pun yang memiliki indra keenam  Tak seorang pun yang bisa melihat makhluk halus. Saat kecil dulu, saya memang suka juga mengobrol sendiri saat bermain mobilan. Tapi saya tak pernah memiliki teman khayal seperti Yenny. Ah, terkadang saya takut bila suatu malam, ketika saya lelap, teman-teman Yenny menyerang saya. Menyekik leher saya sampai mati. Tidak bisa tidak, tingkah-laku aneh anak saya itu harus dihentikan.

Segera pagi ini sebelum berangkat kerja saya menelepon seorang psikiater. Saya biasa memangilnya Bu Mala.

"Ada apa, Pak Haris? Ada yang bisa saya bantu?" Terdengar suara tegas di seberang sana. Mungkin dia merasa terganggu rang-ring telepon saya karena bisa saja dia sedang mencoba memejamkan mata setelah tadi malam pasiennya berjubel.

"Yenny, Bu Mala. Sekarang tingkah-lakunya aneh." Saya ceritakan tentang kondisi anak saya hingga sekarang. Tentang seringnya dia mengigau. Tentang teman-teman khayalnya. Saya takut kelak anak saya itu terganggu jiwanya. Saya juga tak ingin anak saya berhubungan dengan alam ghaib, apalagi dia akhirnya menjadi paranormal, misalnya. Bagi saya dia lebih baik menjadi Yenny yang dulu. Yenny si manja, si cengeng dan senang ngambek bila keinginannya tak dipenuhi.

"Ya, seharusnya bapak sebagai orangtua harus menanyakan kenapa dia begitu. Kemudian beri saja penjelasan bahwa tingkah-lakunya itu tak baik."

Klik! Telepon diputus. Saya panggil Bik Onah. Dia buru-buru mendekati saya. Seperti biasa dia sudah faham. Dia membawa nampan berisi secangkir teh dan setangkup roti. Setelah dia meletakkan semua itu hati-hati di meja hadapan saya, dia masuk ke kamar. Dia kemudian datang lagi sembari menenteng sepatu yang sudah disemir mengkilat.

"Yenny sudah berangkat ke sekolah, Bik?" Saya sibuk menghirup teh, mengenakan kaos kaki, mencomot roti, mengenakan sepatu. Tangan Bik Onah sebentar-sebentar terjulur refleks. Dia barangkali takut saya salah menempatkan posisi benda-benda yang saya pegang. Misalnya kaos kaki dan sepatu masuk ke mulut, karena saya salah menafsirkan bahwa itu adalah teh dan setangkup roti. Sebaliknya teh saya jadikan kaos kaki, dan roti menjelma sepatu. Tapi saya tak mungkin salah. Saya sudah biasa melakukannya. Saya tak canggung lagi, apalagi setelah sebulan ini saya belajar mandiri. Ya, setelah istri saya minggat dari rumah karena saya menjatuhkan thalak dua. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun