Pada awal munculnya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di ranah perpolitikan kita, sedikit banyak memunculkan harapan akan energi baru, serta membantu gairah terbarukan dalam sistem politik yang monoton, minus gebrakan.
Bukan hanya memiliki agent of change yang rata-rata berasal dari kaum milenial, pun menggambarkan kalau permodalan partai ini cukup kuat, dilihat dari tampilan yang elegan.
Akan tetapi, tampilan elegan PSI tak didukung strategi yang mumpuni. Kemunculan yang tiba-tiba, persis preman pasar mabuk, masuk kedai kopi sambil menendang pintu. Sama sekali tak menunjukkan sopan santun kepada senior, apalagi dengan Partai PDIP dan Golkar, yang notabene sudah kapalan mengayom perpolitikan di negeri ini.
Alih-alih beramah-tamah, bahkan sowan saja seperti ini enggan. Strategi seruduk sana  seruduk sini menjadi peluru pilihan. Biar pun elektabilitas jeblok, yang penting tenar. Entah tenar supaya dipilih atau tak dipilih, kurang jelas.
Kita tidak lupa serudukan Grace di Medan, masalah Perda Agama, menyentil rekan sepayung, seperti Partai PDIP. Seakan ingin menyulut api dalam sekam, terlihat aman di luar, tapi yang disentil merasa panas bukan kepalang. Mereka ingin memberi pelajaran kepada PSI, hanya saja sungkan karena masih satu badan.
Anggaplah masalah di Medan itu angin lalu. Karena perda-perda agama adalah inisiatif umat merujuk kitab yang diimaninya.Â
PSI kemudian berulah lagi, yakni setelah iklan di  televisi yang membuat sakit perut; udah, udah, mereka tak tanggung- tanggung, menyeruduk Tuhan umat Islam, dengan jargon : tolak poligami. Tak dapat dipungkiri bahwa penonton langsung ganti channel setelah iklan ndangdut cutbray itu, bahkan ada yang hendak melempar layar televisi. Wajar saja karena mereka tak terima kalam Tuhannya dilecehkan. Anehnya, hingga sekarang iklan itu senang-senang saja wara-wiri. Entah KPI sudah dicekoki seolah buta, saya sendiri tak tahu.
Serudukan baru-baru ini pun membuat terkejut. Apa PSI lupa kalau yang banteng sebenarnya itu adalah PDIP? Seperti gayanya yang sok intelek, dia malahan mengkritik  ketum PDI  tentang pidato masalah golput. Entah apa tujuannya sekadar mencari sensasi, saya kurang tahu.
Intinya, PSI bagaikan duri dalam daging dalam koalisi pemenangan Jokowi. Apabila dicabut, serpihan kulit akan ikut tertarik Apabila tak ditarik, sakitnya menyucuk- nyucuk ubun.
Mungkin ketum PDIP, bahkan seluruh anggota dan simpatisan, merasa gregetan. Hanya saja bukan pada tempatnya kalau serudukan dibalas serudukan. Alhasil, sesama teman saling melukai dan Jokowi harus berjuang sendiri.
Mungkin karena asyik seruduk sana-seruduk sini, akhirnya PSI kuwalat. Seperi yang diberitakan www.m.merdeka.com baru baru ini, peneliti LSI Denny JA, saudara Rully Akbar, memaparkan bahwa elektabilitas PSI hanya berkisar 0,2 persen.