Bunga mawar yang tumbuh di pot-pot kecil di teras rumah yang sempit itu, membuarkan wangi alami. Udara di luar hangat. Matahari cukup bersahabat, apalagi bagi anak-anak yang sedang bermain perang-perangan di sepanjang lorong. Suara mereka riuh. Ceria sekali.
Semua itu tak membuat hatiku bahagia. Di depan komputer, tetap saja aku bagai arca batu. Tanganku mengambang di atas keyboard tanpa sedikitpun mampu menekan sebuah kata demi merampungkan novel yang kujanjikan kepada penerbit akan kelar sebulan lagi.
Hanya air mataku tetap mengambang. Ingatanku diperangkap sosok Ragil. Perempuan mungil berusia enam bulan itu, menggapai-gapaikan tangannya. Masih renyah di telinga ini ketika dia mengeak saat membrojol dari liang rahimku.
Masih kuingat ketika mulutnya mendecap-decap ketika haus, dan sangat terpaksa kuangsurkan pentil dot susu ke mulutnya yang manyun. Dia tak mau meneteki dada bundanya yang mengembang dan berat ini, karena sejak lahir lebih nyaman mengecap susu sapi, meski sudah berulangkali aku berusaha agar dia lebih nyaman bersama dada bundanya.
Ragil, perempuan lucu dengan bola mata jenaka. Ragil, perempuan kecil yang selalu menggapai-gapaikan tangan dan menerjang-nerjangkan angin dengan kaki mungil. Dia nakal, senang mengompol. Setiap hari tali jemuran dipenuhi popoknya yang lucu-lucu.
Sekarang dia tak bersamaku. Tak pula terdengar suara tangisnya. Dia telah pergi jauh. Tuhan lebih menyayangi ketimbang bundanya. Dia mengambil Ragil. Membawanya ke surga.
Ah!
* * *
Beratus senja telah terlampaui. Tapi berdua Mas Po di rumah kreditan ukuran 36 meter persegi, sama sekali punah kehangatan. Bagaimana tidak. Kami belum memiliki momongan sesudah berbilang tahun menikah. Padahal taklah sedikit usaha yang dilakukan, mulai berobat ke dokter kandungan, orang pintar, bahkan yang berbau mistik.
Aku malahan was-was pada apa yang kulakukan bersama Mas Po berujung kemusyrikan. Bukankah mempercayai yang mistik-mistik dan orang pintar berarti menduakan Tuhan?
Ternyata tetaplah rahmat itu tak datang. Tuhan belum mempercayai kami mampu mengasuh dan membesarkan seorang anak. Barangkali tersebab Mas Po bukan orang mapan. Dia mekanik di bengkel sepeda motor di perempatan jalan berjarak seratus meter dari rumah kami.
Beruntunglah aku bisa mengarang. Novel-novelku yang terbit berkala, bisa menyambung hidup kami, sekaligus dapat membayar kreditan rumah.
"Kata temanku, apa yang terjadi kepada kita, sudah biasa dialami orang lain. Tetangga temanku itu saja sudah sepuluh tahunan belum mempunyai anak. Mereka tawakal. Sekarang mereka pasrah mengasuh anak angkat yang masih berusia satu setengah tahun. Mas harap kita bisa setawakal mereka," kata Mas Po ketika kami berbaring di atas kasur saat hujan di luar sana menggigilkan badan.
Kulabuhkan kepala ke dada bidang Mas Po yang telanjang. Kukepit selangkangan agar benih yang dititipkannya di rahimku tak tumpah. Itu teori yang diajarkan ibu dan selalu kulakukan, walau sekarang belum terbukti sama sekali.
"Kata dokter kita sama-sama sehat, Mas! Kenapa sampai sekarang aku belum pernah terlambat haid?" keluhku. "Padahal aku selalu berharap ada keriuhan suara bayi di rumah kita."
"Kita harus tabah menghadapi semua ini, Pratiwi. Kita memiliki kemauan. Tuhan menghendaki lain." Mas Po mengelus rambutku,
"Aku kerapkali iri melihat tetangga-tetangga kita. Baru menikah setahun, tahu-tahu sudah punya anak. Sementara kita, kuhitung-hitung hampir tiga tahunan menunggu yang tak pasti."
"Ya, tapi ada juga yang baru empat bulan menikah sudah punya anak," guraunya.
Aku tahu arah pembicaraan Mas Po. Kudaratkan cubitan ke pahanya yang telanjang.
Dia menjerit, mencium hangat keningku. Seperti ritual biasanya, dia meninggalkanku. Dia pergi ke dapur menyeduh kopi. Meletakkan gelas kopi di meja ruang tengah, menghidupkan televisi tepat di channel yang menyiarkan pertandingan sepakbola. Selebihnya dia akan membersihkan diri di kamar mandi. Lalu duduk di ruang tengah menonton televisi.
Aku merasa terbiar di kamar. Hening. Tak ada teman berbincang. Aku mafhum saja. Sudah rutinitas. Aku terbiasa menerawang. Menatap langit-langit dengan pandangan lamur. Mataku berkaca-kaca.
Aku membayangkan bagaimana menderitanya seorang perempuan yang tak memiliki anak. Betapa sepinya menjalani hidup. Padahal semua hasil mencakar dunia tak lain demi kebutuhan anak.
Aku selalu menganggap Tuhan terlalu pilih kasih. Tuhan enggan memberikan rahmat ke rahimku yang sehat, bahkan menurutku cukup sempurna. Kalau konon rahimku bermasalah atau Mas Po yang mandul, mungkin hatiku tak sesakit ini.
Tapi .... Ya, setiap perempuan pasti selalu tak mau menerima kondisi seperti yang kualami. Betapa menyakitkan! Apalagi kelak suami, bahkan ibu mertua mengambil alternatif lain. Semisal mencari pasangan baru buat Mas Po. Itu artinya aku harus rela dimadu. Itu artinya mesti memendam sakit hati berkepanjangan manakala si madu bisa hamil dan memberikan anak yang montok.
* * *
Aku tak sadar menjerit kegirangan dan melompat-lompat serupa anak perempuan kecil melihat ayahnya pulang dari luar kota sembari menenteng boneka.
Baru saja aku iseng-iseng memeriksa kandungan dengan test-pack setelah hampir seminggu tak haid. Sengaja aku berahasia kepada Mas Po tentang terlambat haid ini. Aku takut kami berdua terlalu berharap.
Andai darah haidku pecah di hari kedelepan, maka tak ada kisah yang mesti diceritakan selain gundah-gulana menjerat hati. Biar saja aku yang memendam kisah. Biarlah Mas Po tak tahu apa-apa terhadap kisah yang kukerkah sendirian.
Tak lupa aku bersujud syukur. Segera kubengkalaikan ketikan novel di komputer meski imajinasiku membadai. Aku ingin menyambut Mas Po dengan kabar yang amat menggembirakan ini.
Pilihan pertama tentu memasak makanan kesukaannya; nasi goreng dengan rajangan telur dadar, plus sepotong paha ayam dan irisan tomat besar. Kedua, mandi bersih-bersih dan menyemprotkan parfum beraroma terapi. Ketiga, mengenakan pakaian terbagus hadiah Mas Po. Keempat, tak ada lagi selain duduk di sofa dengan segelas jus pokat yang pinggirannya mengembun karena dingin.
Pukul lima sore Mas Po tiba. Dia terkejut melihatku dan suasana rumah yang amat asing dari hari biasanya. Sejatinya, saat dia pulang kerja, aku masih asyik dengan kegiatanku di depan komputer. Di meja tamu terhidang segelas air putih dan kue putu yang sengaja kubeli dari penjaja yang melintasi lorong. Meja makan tak menggairahkan. Hambar dengan nasi putih dingin di bawah tudung saji. Setoples krupuk di sebelahnya.
Ucapan pertama dari Mas Po usai melongok suasana dapur pastilah, "Selepas maghrib kita makan martabak telor di pasar, ya!" Atau, "Pratiwi, kau mau memesan gulai apa? Aku mau ke rumah makan Padang sebentar lagi."
Mas Po berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Dia pura-pura menikmati jus pokat. Manakala melihat isi tudung saji yang menggoda dengan tampilan dan aromanya, taklah dia bisa memendam keterkejutan itu lagi. Dia langsung mendekatiku.
"Aha, ada gerangan apa sehingga kau begitu menggoda? Bukan hanya menggoda lapar-dahagaku, termasuk hasratku hendak melepaskan letih bersamamu di peraduan." Seperti biasa, kalau sedang senang, kata-katanya selalu bertangkai. Serupa syair yang dijalin indah. Meski kutahu, dia sesungguhnya amat gagap bila disuruh menuliskan sebaris puisi saja. Dia hanya bisa merayu lewat mulut, bukan dengan tarian pena dan kertas yang pasrah dicorat-coret.
"Yang membuatku menggoda adalah.... " Aku menarik napas sejenak.
"Apa yang Mas paling inginkan di dunia ini?" tanyaku membuatnya penasaran. Dia memiringkan kepala ke kiri sambil memukul-mukul pelan kepala bagian kanan. Perbuatan konyol! Dia selalu begitu kalau merasa terdesak dengan pertanyaan yang tak bisa dijawabnya. Katanya, siapa tahu jawaban keluar dari telinga kiri setelah kepalanya bagian kanan dipukul-pukul.
"Bukannya menjawab, malahan berbalik memberikan pertanyaan." Wajah Mas Po kecut. "Keinginanku, apa, ya? Berlibur ke Bali!"
"Salah! Ada satu yang sangat kau inginkan, Mas. Termasuk...."
"Ada juga memang. Tapi aku takut mengatakannya karena pasti mengundang kekecewaan di dada." Dia membisu. Matanya mengerjap-ngerjap seakan silau oleh cahaya lampu. Dia menataku dengan bibir bergetar. "Kau... kau hamil?"
"Tepat!"
Sebuah pelukan hangat mengakhiri segalanya. Jeritan tertahan menyusul. Kemudian Mas Po jejingkrakan. Dia sangat bahagia. Senyuman menghiasi wajahnya. Aku kemudian diibaratkan seorang ratu. Tak boleh lagi capek-capek, atau begini-begitu. Bahkan Mas Po mengusulkan mempekerjakan pembantu demi mengurusi rumahtangga.
"Aku masih sanggup, Mas. Tak usah ada pembantu-pembantuan segala."
"Ya, tapi untuk pekerjaan berat seperti mencuci pakaian, menyeterika dan membersihkan seluruh rumah, tak mesti kau yang mengerjakan. Ingat, Pratiwi, kita sudah menunggu kehadiran bayi sekian lama."
Semua kemudian menjadi begitu berbunga. Hidup yang dilalui sangat bermakna. Betapa bahagia rasanya manakala berbelanja pernak-pernik bayi yang lucu. Kamar dicat berwarna pink oleh Mas Po, sehingga berbeda dengan cat di luar kamar yang berwarna hijau lembut. Penghasilan Mas Po, seketika selalu lebih banyak dari hari-hari biasanya. Kata Mas Po, itu rejeki untuk si jabang bayi.
Sementara kelelahan tak sekejap pun mengganjal kegiatanku. Aku sanggup mengelola rumahtangga tanpa pembantu. Meski berulang-ulang Mas Po mencemaskan kehamilanku lantaran capek, tetap saja kepalaku membatu. "Ini demi anak kita. Kalau kita mempekerjakan pembantu karena aku hamil, maka itu artinya kehamilanku ini kita jadikan beban."
"Tapi...."
Sembilan bulan menunggu, akhirnya lahirlah sesosok bayi perempuan lucu. Kami beri dia nama Ragil. Kehadirannya membuat suasana rumah ramai. Dia selalu membuat kelucuan, meski kerap merepotkan saat sering mengompol atau rewel di malam hari.
Pun, rumah menjadi sesak. Orangtua dan mertuaku seringkali datang bertandang. Belum lagi saudara atau iparku, hmm... sepertinya rumah kami menjadi lebih sempit dari biasanya. Tentulah keputusan Mas Po mempekerjakan pembantu tak lagi terbantahkan. Dia tak ingin perhatianku luput dari seorang Ragil hanya tersebab tersita untuk urusan tetek-bengek rumahtangga.
* * *
Seperti petir di siang bolong aku mendengar jawaban dari Dokter Misnan. Di balik matanya yang cemerlang, kutahu dia sebenarnya menyimpan kegalauan. Bagaimana tidak. Dia sangat terpaksa memberikan jawaban menyakitkan atas pertanyaanku. Pabila dia berbohong---semisal memberikan kabar penggembira---tentu saja dia harus rela menjadi tumpuan kesalahan bila kelak terjadi apa-apa.
Ragil masih lelah dengan tangis yang megap-megap. Mas Po menatapku gelisah. Dia tersenyum sangat kacau. Digenggamnya jemariku. Dielusnya kepala Ragil yang mulai berambut lebat.
"Mungkin dokter telah salah mendiagnosa," kataku tak percaya. Dokter Misnan mendesah. Dia berdiri, lalu mendekati jendela. Dilihatnya suasana jalan di seberang sana yang dipenuhi mobil lalu-lalang. Kemudian dia berbalik menatapku dan Mas Po. Dia menyilangkan tangan di depan dada. Kaki kiri menyeberang di atas kaki kanannya.
"Itu hasil dari laboratorium, Bu."
"Tapi kenapa mesti anakku yang terkena penyakit itu? Dia masih kecil, Dok. Hampir enam bulanan. Kalau saja aku atau Mas Po yang mengidapnya, mungkin itu adalah pilihan terbaik."
"Itu pilihan Tuhan." Dokter Misnan mengakhiri konsultasinya. Mas Po berusaha menyabarkanku.
Setelah dokter memanggil suster jaga, Ragil pun dibawa ke sal anak-anak. Sementara hatiku selalu resah. Ragil divonis Dokter Misnan memiliki kelainan dalam hatinya. Itulah yang membuat kulit Ragil kuning. Di samping itu, ginjalnya bermasalah. Lengkaplah sudah.
Aku ragu hanya bisa bercengkerama dengan putriku hingga usianya genap enam bulan. Penyakitnya itu sangat berat, seberat hati Dokter Misnan untu mengutarakan bahwa tak ada pilihan baik atas penyakit yang menimpa putriku. Kecuali tentu pada keputusan terakhir, Ragil meninggal dunia.
* * *
Ragil telah pergi menemui Tuhan. Ragil meniti di pintu surga. Dia melambai-lambai ke arahku sambil bernyanyi. Tapi nyanyiannya tertutup oleh suara orang tahlilan. Kembali aku disentakkan ke dunia nyata. Mengingatkan betapa luka hati ini menggendong Ragil yang kulai di lenganku sesaat hendak dibaringkan di hadapan khalayak ramai.
Puas sudah berpingsan-pingsan. Puas menguras airmata yang telah kering. Saran-saran orang di sekitarku agar aku tabah, bagaikan air mengalir di daun alas. Aku tetap tak bisa menerima kenyataan ini. Ragil telah kutunggu sekian lama. Ketika dia muncul mewarnai hari-hariku dan Mas Po, ternyata dia pamit cepat-cepat. Sangat cepat! Apakah Tuhan telah berlaku tak adil?
"Tuhan lebih menyayangi Ragil, Pratiwi! Pasrahlah!" Itu ucapan ibuku. Dan kurasakan rohku membimbing Ragil menuju surga.
* * *
Bunga mawar yang tumbuh di pot-pot kecil di teras rumah yang sempit itu, membuarkan wangi alami. Udara di luar hangat. Matahari cukup bersahabat, apalagi bagi anak-anak yang sedang bermain perang-perangan di sepanjang lorong. Suara mereka riuh. Ceria sekali.
Semua itu tak membuat hatiku bahagia. Di depan komputer, tetap saja aku bagai arca batu. Tanganku mengambang di atas keyboard tanpa sedikitpun mampu menekan sebuah kata demi merampungkan novel yang kujanjikan kepada penerbit akan kelar sebulan lagi.
"Celamat ciang!" Aku dikejutkan seorang gadis kecil di ambang pintu. Dia menggendong boneka beruang.
"Siang! Ragil mau bermain sama Tante?" Sekejap gundahku tentang Ragil lenyap.
"Caya bukan Agil, tapi Mimi!" gerutunya.
Aku tersenyum. Kugendong dia dan membawanya ke halaman belakang rumah. Dia adalah anak tetangga sebelah rumahku.
---sekian---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI