Setelah melewati waktu yang panjang, hampir 34 tahun, melintasi 6 presiden dan 9 gubernur, akhirnya moda raya terpadu (MRT) diresmikan kemarin Minggu, 24 Maret 2019 . Ada rasa mejuah-mejuah di dada masyarakat Jakarta, setelah bilangan tahun dibekap getir kemacetan, sekarang terwujud moda transportasi yang diharapkan dapat mengurainya.
Sangat disayangkan euforia masyarakat tanpa akal sehat, menyisakan sedikit kekecewaan. Seakan tempat berpelesir, lokasi beroperasinya MRT dijadikan ajang makan-makan ibarat di atas dangau pinggir sawah. Apatah lagi padang permainan semacam "out bond" dipindahkan ke dalam gerbong. Tapi, biarkanlah euforia itu berlalu dalam sehari-dua. Besok lusa kondisi akan kembali seperti sediakala.
Hanya saja prinsip "telor punya ayam, sapi punya nama", klaim-mengklaim atas MRT menjadi drama satu babak yang merisaukan masyarakat. Alih- alih bersyukur atas keberhasilan gawe besar ini, cakar-cakaran dimulai, setelah sengaja atau tak, Pak Jokowi dalam pidatonya mengklaim bahwa keputusan politik jaman dia menjadi gubernur dengan wakil gubernur Basuki Tjahaya Purnama-lah yang melanggengkan gawean ini?
Seorang Anies Baswedan pula yang berhasil mengurai kekisruhan. Betapa para gajah saling bergaduh, pelanduk pula yang terinjak-injak.
Kita merasa menjadi orang hebat ketika keputusan kita menghasilkan monumen keberhasilan. Apakah kita tidak pernah pikirkan para pekerja bangunan MRT, berjibaku dengan maut, ketika kaki dijadikan kepala, kepala dijadikan kaki. Belum lagi harus rela membiarkan malam hari yang haknya untuk tidur, terpaksa berjaga hanya demi kemaslahatan umat manusia.
Pernahkah kita memikirkan akar rumput? Belum lagi harus berterimakasih. Belum pula memberikan penghargaan kepada mereka. Padahal uang pembangunan MRT itu, kita tak dapat menafikan, salah satunya berasal dari pajak-pajak yang mereka bayarkan. Mereka juga yang menarung keringat lelah, agar pembangunan menjadi nyata. Sementara kita hanya berbicara, menggaungkan wacana-wacana dan menyusun peraturan lainnya. Â Adakah sedikit simpati kita kepada mereka?
Coba bayangkan bila saja para pekerja teledor karena kurang istirahat, ujung-ujungnya membangun pondasi tak safety. Kita kembali harus menyadap duka lara karena kecelakaan tergambar di depan mata
Hati saya terenyuh membaca perkataan Anies; "Saya tahu persis karena hampir setiap malam lewat sekitar tiang-tiang pancang. Di malam gulita, saat mayoritas warga telah tidur, Anda (pekerja) semua masih berkeringat, bekerja tanpa henti," katanya.
"Saya sudah meminta kepada Direksi PT. MRT agar mencatat setiap nama yang terlibat, sekecil apapun termasuk para pekerja paling operasional. Dokumentasikan semua, dan izinkan kami, bangsa Indonesia, mengenal orang-orang yang bekerja keras dalam sunyi," imbuhnya.
"Atas nama rakyat Jakarta, saya mengirimkan rasa terima kasih dan rasa hormat pada Ibu, Bapak dan Saudara semua. Semoga tiap butir keringat itu akan dicatat sebagai amal shaleh, dan setiap kemudahan yang dirasakan oleh pengguna MRT akan dicatat sebagai amal jariyah Anda," tutup Anies.Â
(sumber : Â https://nusantara.rmol.co)