Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan

25 Maret 2019   08:59 Diperbarui: 25 Maret 2019   09:25 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Saya kembali ke rumah ini setelah lima bulan berlalu. Bukan berarti saya kangen kepadanya. Kenangan itu sudah mengelupas. Seluruh isinya saya buang ke tong sampah. 

Masih saja pintu pagar terbuka lebar, seperti biasa dari dulu, seolah mempersilakan siapa saja boleh masuk, terkecuali maling. Maling biasanya melompati pagar. Maling tak terbiasa masuk dari pintu, kecuali dari jendela. Dan saya adalah maling yang kurang-ajar. Masuk dari pintu pagar, lalu mendorong pintu ruang tamu.

Seketika kenangan seakan membelah dada. Meraih hati saya, dan semuanya menerabas seperti ribuan peluru. Saya terpaku. Seorang gadis kecil bermata bola, menatap saya seolah melihat hantu. Wajahnya pias mula-mula. Akhirnya dia tersenyum sangat lebar, mempertontonkan dua buah gigi depan yang  tanggal.  Saat kami berpisah dulu, giginya masih utuh. 

Dia memeluk saya erat-erat. Dia mengatakan sangat merindukan saya. Mengenai saya tak mengunjunginya selama lima bulan ini, menjadi sesalannya. Ujung bibirnya bagian kiri memanjang dan miring. Dia melipat dada dan menghempaskan badan ke sofa. Oh, Tuhan, kenangan satu ini kiranya tak dapat  saya buang ke tong sampah. Dia putri saya. Darah daging saya.

"Ica melihat flashdisk Ayah?" tanya saya pelan. Dia mencibir.

"Ayah lebih rindu kepada flashdisk daripada Dedek!" Dia terbiasa menyebut dirinya Dedek. Dulu dia punya seorang kakak. Kakaknya sudah meninggal dunia karena demam berdarah.

"Bukan, Ica! Ayah sayang Ica, kangen Ica. Cuma, di falshdisk itu banyak kerjaan kantor  Ayah." 

Dia melihat saya dengan ekor mata. Itu pertanda dia tak tahu apa-apa tentang flashdisk. Pertanda pula kalau saya sudi mencari flashdisk itu sendirian, silakan saja. Saya meyakinkan apakah dia rela rumah diacak-acak  Jawabannya hanya edikan bahu. Dia kembali asyik dengan origami.

Saya menyisir ruang tamu. Saya menemukan di dalam buffet kaca, sebuah pena kesayangan saya. Fuh, ternyata perempuan itu hanya sombong di depan saya saja! Buktinya dia tak mengganggu, apalagi membuang  pena itu. Apakah kata-kata tajamnya yang menganggap saya sampah, hanya emosi sesaat? Atau dia hanya mempertahankan ego? Bahwa sekali saya bermain api, maka saya berubah menjadi abu di hadapannya.  Perduli amat tuduhannya kepada saya bermain api dengan Miskah tanpa bukti. 

Saya memang  dekat dengan Miskah, tapi hanya urusan kerja. Tak lebih. Benar saya kurang-ajar menyayangi perempuan itu. Hanya saja sebatas sayang seorang rekan kerja. Katakanlah sayang seorang atasan kepada bawahan

"Boleh Ayah mencari flashdisk itu di kamar?" tanya saya seolah bertanya kepada angin. Ica sama sekali berusaha menulikan telinga. Hingga saya nekad membuka pintu kamar yang memang tak terkunci. Hingga napas saya sesak disusupi beragam kenangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun