Sam Moses membiarkan tubuhnya larut dalam sebotol anggur. Cahaya lampu semakin suram, lindap. Suara menjelma samar, lesap. Sebotol anggur tiba lagi. Perempuan berambut jingga sedemikian rajin membuatnya mabuk.
Baca juga : https://www.kompasiana.com/rifannazhif/5ca083a895760e105e0709f2/kota-elgebete
Mungkin malam ini dia akan bertambah mabuk oleh buah tangan perempuan itu. Atau, mungkin oleh tubuhnya. Hmm, Sam Moses membuang pandang. Dia seakan melihat padang rumput berubah padang gurun. Dia adalah serigala yang kehausan.
"Sebotol lagi tak akan membuatmu mabuk!" Perempuan itu menuangkan anggur ke dalam gelas besar. Sam Moses menutup rapat mulut gelas itu dengan telapak tangan. Dia teramat mabuk. Terlebih kantongnya kempes. Jam bersepuh emas berpindah tangan hanya demi membuatnya hilang kesadaran. Membuatnya menghilangkan permasalahan yang membekap kepala. Hanya sementara!
Dia terhuyung meninggalkan perempuan  itu, kendati dihalangi dengan tubuh moleknya. Percuma! Tempat tidur lebih baik bagi Sam Moses.
***
Pagi tadi sebelum berangkat bekerja di pabrik baja itu, Sam Moses berharap semua akan berjalan baik-baik saja. Dia bisa menyeruput coklat panas bertabur bubuk kayu manis. Menjejalkan dua potong roti berisi telur puyuh goreng dengan sobekan salada bersaus sambal. Sebuah kecupan dari Pingkan, melengkapi segalanya. Ciuman di tangan oleh anak sulungnya, semakin membuatnya bersemangat. Dia harus kuat bekerja.Â
Anaknya mesti bersekolah tinggi. Pintar. Sukses di masa depan. Bukan seperti dirinya yang hanya menjadi buruh kasar. Setiap tanggal 1 Mei selalu turun ke jalan menuntut kesejahteraan. Kendati akhirnya dia hanya mendapat sedikit kenaikan gaji, ataupun tak pernah lagi hingga berbulan. Kecuali disiplin semakin ketat. Kecuali bekerja harus melebihi mesin.
Hanya satu---maaf sepertinya beberapa---kelebihan yang dia miliki. Tubuh berotot, wajah berbobot, meski otak agak lemot. Perkara jam tangan bersepuh emas itu, anggap saja dia dengan mudah mendapatkannya dari perempuan yang butuh hujan di gurun sahara.Â
Begitu pula dengan mudahnya dia merebut Pingkan dari keluarga kaya raya dan memberinya kemiskinan. Perempuan itu memang tak pernah menuntut apa-apa yang sangat berlebih dari Sam Moses. Tapi, dari sorot matanya, Sam Moses merasakan tuntutan demi tuntutan seperti ribuan mata pisau yang menusuk dan menyayat harga dirinya sebagai lelaki, sebagai suami, sebagai ayah yang mandul harta.
"Mari masuk, Mas!" Seorang perempuan membuka pintu, lalu menatap iba. Dia memapah Sam Moses menuju kursi. Bayang-bayang helai rambut putih di atas kasur itu, membuat tangan Sam Moses refleks mendorong perempuan itu. Dia telah mempercayai kesetiaan perempuan itu. Hanya saja perempuan itu diam-diam menelikung. Berselingkuh dengan lelaki tua, yang dalam bayangan Sam Moses adalah lelaki kaya.Â