Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warung Pecel

15 Maret 2019   15:05 Diperbarui: 15 Maret 2019   15:53 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pucuk-pucuk pohon karet berkilau diterpa terik sinar matahari. Angin panas menyapu-nyapu perkampungan, persawahan juga ladang-ladang di pinggang bukit. Kampung Saoto sesiang ini masih tidur. Bukan lantaran bermalas-malasan, melainkan  sakit hati  kepada alam yang tak bersahabat.

Hama wereng menyerang separuh persawahan penduduk. Babi hutan mengamuk, meluluhlantakkan nyaris seluruh ladang. Coba, siapa yang tak sakit hati? Padahal penduduk merasa telah ramah kepada alam. Tak lepas-lepasnya mereka memanjatkan doa kesejahteraan kepada Sang Pencipta. Sayang, nasib peruntungan belum memihak. Mereka seolah dihukum untuk dosa yang tak pernah dilakukan.

Bayang-bayang paceklik mulai memayungi mata mereka. Kemarau panjang akan memperparah panen tahun ini. Apa lagi yang harus dijual demi menebus bahan pangan?

Penduduk merasa kalah. Beberapa hanya mampu duduk di halaman rumahnya sambil berkeluh-kesah. Beberapa lainnya memenuhi lapau-lapau dengan wajah kusut masai. Berbeda dengan kanak-kanak, tak paham risau yang menyulut hati orangtua mereka. Permainan tetap seru. Musim layangan seperti diletuskan. Persawahan dipenuhi kaki-kaki telanjang. Jangan kata kalau dulu sawah-sawah itu menghijau. Kanak-kanak pastilah dilarang ke sana. Sekarang, terbiarlah! Padi-padi tak menghasilkan lagi. 

"Apalagi kutukan yang menimpa kita ini, Mak!" Pak Kurlian mengeluh di seberang istrinya. Sambil duduk di kursi dengan mengangkat sebelah kaki kiri, matanya menyipit. Wangi kopi membuar dari cangkir besar di depannya. "Panen bakalan gagal. Bagaimana caranya kita melamar Saimah untuk anak kita? Makan saja susah, apalagi sekadar mengumpulkan mahar."

"Tuhan telah marah kepada kita!" geram istrinya. Perempuan itu tertunduk-tunduk memilih menir di atas tampah berisi beras. Setelah menir ditaruh dalam kaleng bekas susu, dia mengempas-hempaskan tampah seolah menghantam angin.

"Marah kenapa?" Pak Kurlian menyeruput kopinya. Kening lelaki itu langsung mengeriput karena rasa kopi terlalu pahit.

"Karena janda kembang itu!"

"Janda kembang? Maksudmu si Leha?" Pak Kurlian membayangkan perempuan berbodi singset dan kerlingnya yang menggoda.

"Siapa lagi!"

Leha belum genap setahun tinggal di Kampung Saoto. Sebelumnya dia tinggal di kota besar. Tapi setelah suaminya meninggal dunia karena diserempet mobil, dia pindah ke Kampung Saoto dengan membawa dua orang anaknya. Mungkin kemunculan Leha-lah pemicu bencana yang menimpa persawahan dan ladang penduduk. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun