Sepotong roti tawar mengganjal tenggorokan saya. Saya megap-megap seperti ikan yang terlempar dari dalam akuarium dan jatuh ke lantai. Beruntung saya berhasil menjangkau teko.Menuangkan hampir setengah isinya ke mulut.Tentu demi memuluskan jalan roti tawar itu menuju lambung.
Istri saya telah berulangkali mengatakan agar saya makan lambat-lambat saja. Tidak perlu terburu-buru karena tak akan ada yang mau menyerobot makanan saya. Tapi kebiasaan yang terlanjut saya jalani sedari muda, jelas sangat susah dirubah.
Seorang teman mengatakan mengunyah makanan itu sebaiknya tiga puluh dua kali. Agar lambung dan usus sehat. Agar metabolismu tubuh berjalan normal. Dia menambahkan,dengan melihat cara seseorang makan, bisa ditebak bagaimana sikapnya di atas ranjang. Dan itu saya amini. Saya sering minum obat kuat untuk menyenangkan hati istri saya. Â Begitupun saya tetap mengumpat teman saya itu; sundal!Â
Tapi jangan menyangka tersedaknya saya mutlak karena makan terburu-buru. Seratus persen bukan karena itu. Saat saya memasukkan sepotong roti ke mulut, tiba-tiba hp saya berbunyi. Sebaris sms dari Pindul, membuat saya tersedak. Dia mengabarkan Jafra ditemukan meninggal dunia di pinggir jalan di dekat tong sampah.
Saya  menyesalkan mengapa Jafra meninggal secepat itu, dengan kondisi yang tak mengenakkan. Sangat tak terhormat! Meninggal dunia di pinggir jalan di dekat tong sampah. Seperti matinya kucing korengan. Kenapa dia tak memilih di kasur empuk atau paling tidak di kamar mandi rumahnya?
Saya lebih menyesal lagi, dia tak menuruti nasihat saya. Memang sebagai penulis, dia berhak menulis apa saja dalam cerpen-cerpennya yang bertebaran di media massa. Tapi kok belakangan ini cerpen-cerpennya bagi saya sangat horor?
Dia selalu bercerita dengan menempatkan sudut pandang orang pertama; aku atau saya. Dia selalu bercerita tentang kesuraman dan kematian. Berkali-kali dia mengisahkan dirinya telah mati. Menjadi hantu gentayangan. Seharusnya dia membuat cerita bahwa tokoh aku atau saya bertemu perempuan. Kemudian mereka pacaran, ditemani kopi yang mengebul, di bawah sinar bulan temaram. Perkara dalam cerita itu mereka selingkuh, terserah!
"Inilah imajinasi! Kau seperti tak pernah mengarang. Pengarang itu adalah pencipta. Mau tokohnya mampus, mau tokohnya koruptor, bencong, lesbian, terserah! Mau tokohnya berumur seribu tahun, dan sama sekali tak masuk akal, yang penting ceritanya dapat dinikmati. Redaktur telah meloloskan cerpen-cerpenku untuk dinikmati khalayak ramai. Apa hak beberapa pembaca mengeritik? Suka atau tak suka itu relatif, Bro!" Suaranya memelan. Ada bunyi klakson melatarinya. Mungkin dia sedang sibuk menyetir di tengah kemacetan, mengepit hape antara bahu dan telinga, dan mengumpat saya dalam hati sebab tak paham berkendara yang aman. Saya telah berusaha membuatnya celaka!
Saya matikan saja hp. Bukan lantaran saya tak ingin dia celaka, melainkan ucapannya seolah menusuk saya. Seolah menyindir bahwa saya hanya bisa berkicau seperti yang lain,dan berkarya cukup sekali setahun. Tapi menyerocos cerpen orang hampir setiap pekan.Â
Sebenarnya saya tak iri terhadap keberuntungan Jafra belakangan ini. Saya takut suatu waktu apa yang dia tulis menjadi doa. Bila doa terkabul, dia akan celaka. Mati! Menjadi hantu gayangan! Hiii, tiba-tiba bulu kuduk saya merinding. Rumah yang sepi karena istri saya sedang berkunjung ke rumah ibu mertua, membuat saya memilih meluncur ke rumah Pindul. Sekalian melayat mayat Jafra bersamanya.
Saya sengaja mengendarai motor dengan kecepatan lambat. Saya takut celaka yang menimpa Jafra, tiba-tiba pula menyusul menimpa saya. Hari ini Sabtu. Biasanya orang yang mati di hari Sabtu, suka mengajak teman. Entah benar atau tidak, tapi itulah yang sering saya dengar dari para tua-tua.