"Saya polisi!" Tebakanku benar untuk pekerjaan utamanya. Khusus untuk kilatan kebohongan di matanya, aku tak menangkap apa-apa selain kejujuran. Itulah yang membuat istriku membuka rapat dadakan menjelang aku pergi berdagang bakso di pinggiran Jalan Sudirman.
"Jangan seperti perempuan, Pak!" Bibir bawahnya mencuat.
"Kenapa kau mengatakan aku seperti perempuan?" Aku tak senang. Seekor ayam yang terbang ke atap gerobak bakso, kubiarkan saja. Biar mampus sekalian bakso-bakso itu dilahapnya. Ini istri bukan main perangainya. Laki mau pergi kerja, bukannya dikasih senyum Monalisa, malahan diberi ceramah pedas.
"Ya, kerja Bapak selalu curiga. Yang Gang Rampok-lah dirusuhi. Sebentar-sebentar mengira orang-orang di sini banyak yang rampok. Sudahlah, jangan ngurusin yang tidak-tidak, Pak. Ngurusi kerjaan dagang bakso saja mumet bukan kepalang. Ini, Gang Rampok, Gang Rampok! Dosa Pak kalau pikiran terus-terusan dipenuhi kecurigaan. Percuma shalat tandak-tunduk kalau hati masih busuk."
Ceramah yang akhirnya kutelan mentah-mentah, kubuang ke selokan depan rumah berupa air ludah. Bagaimanapun nama Gang Rampok tetap membuatku curiga.
Untuk apa gang diberi nama buruk seperti itu? Memberi nama atas seseorang atau sesuatu, haruslah yang baik-baik. Mana ada orang tua yang memberi nama anaknya setan misalnya atau hantu jembalang. Mana ada pula orang memberi nama jalan atau gang, kecuali yang baik-baik. Misalnya nama pahlawan, nama burung, nama-nama yang mengandung doa. Dilalah! Pening aku!
Tapi semakin menyelidik kehidupan orang-orang yang tinggal di Gang Rampok, harus berulangkali aku mengelus dada karena merasa berdosa. Pak Rt yang kukira rampok, kiranya merangkap guru mengaji. Tetangga sebelah rumahku seorang polisi. Pak Karmin seorang jaksa. Pak Midun seorang Hakim.
Lalu bapak-bapak lain memiliki pekerjaan terhormat dan sering membutuhkan dasi untuk bekerja. Sedangkan aku? Di antara semua bapak yang mendiami Gang Rampok, pekerjaanku yang lebih rendah. Pakaian dan forum wajahku yang pas dicurigai sebagai rampok. Dengan wajah hitam legam, hidung tomat, mata besar dan melotot, kumis dan jambang awut-awutan. Juga bekas tato di lengan atas yang telah kuhilangkan dengan lempengan besi panas.
Di samping itu, bapak-bapak se-Gang Rampok paling betah berbagi kepada orang miskin. Hampir sekali sebulan selalu mengucur bantuan dari mereka. Silih-berganti. Keluargaku pun mendapat percikan. Maka lambat-laun kecurigaanku tentang kata Rampok, musnah sudah. Muncul rasa malu dan berdosa. Itulah mengapa setiap kali ada orang yang mengajakku shalat maghrib berjamaah di Musholla Gang Rampok, aku selalu tak mampu menolak. Kebetulan tempatku mangkal berjualan bakso hanya berjarak tiga lemparan batu dari rumah sewaanku. Jadi, selama aku shalat berjamaah, istriku yang mengambil alih. Istriku senang-senang saja untuk yang beginian.
"Kalau tujuan Bapak untuk beribadah, aku rela menunggu jualan sampai jam dua belas malam," katanya. Dan memang kerap aku baru pulang setelah istriku memarkirkan gerobak bakso di teras rumah. Selepas shalat maghrib berjamaah, biasanya diadakan takliman atau bincang-bincang tentang agama. Atau, bisa jadi ada undangan syukuran di rumah bapak anu. Kemudian selepas shalat Isya, bincang-bincang berpindah ke teras rumah bapak ini-bapak itu, sekadar menyeruput kopi dan mencomot panganan ringan, sambil tentu saja iseng memirit kartu remi, domino, bermain catur atau hanya mengobrol ngalor-ngidul.
***
Hingga kemudian aku mendapat pasal.