Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Akal Bulus

9 Maret 2019   12:29 Diperbarui: 9 Maret 2019   23:23 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pixabay

Kampung Rup gonjang-ganjing. Di ladang, sawah, warung, langgar, pasar kaget, hingga seputaran balai desa, warga merusuhkan niat Lurah Ko menaikkan harga minyak tanah. Semakin dekat pengumuman kenaikan harga minyak tanah itu, warga yang diprakarsai tokoh pemuda, semakin siap perang. Senjata seperti pacul, arit, pisau deres, pentungan, sapu lidi, bambu, telah dikumpulkan di gudang Tuan Si. Bagaimanapun Lurah Ko telah menyalah. Percuma warga memilihnya sekian tahun lalu, kalau setelah berjaya, malahan menusuk warga. Menyengsarakan masyarakatnya!

"Aku tak setuju Lurah Ko menaikkan harga minyak tanah. Apa kita harus kembali ke jaman batu? Mau masak harus memakai kayu bakar? Kayu bakar darimana? Sekarang kayu-kayu dilindungi." Tokoh pemuda, yang biasa dipanggil La, menyulut semangat teman-temannya.

Wan mengangguk. Tapi dia mencoba menambahkan seperti apa yang dia dengar dari omongan Luroh Ko di pasar kaget kemarin. "Lurah Ko beralasan, kita jangan bergantung terus pada minyak tanah. Masih banyak bahan bakar lain yang bisa  dipergunakan. Seperti biji jarak. Lagi pula minyak tanah sewaktu-waktu akan habis. Jarak tidak."

"Huuu!" Yang lain tak setuju mendengar penjelasan Wan. "Apa kita harus tidur dengan wajah hitam dan hidung seperti goa hantu dengan minyak biji jarakmu itu?" Yang lain tertawa. Wan tersipu-sipu.

* * *
Di ruang kerjanya, Lurah Ko bejalan bolak-balik seperti seterikaan. Kepalanya berkilauan diterpa sinar matahari yang mengintip dari jendela. Mursid, kepala keamanan kampung Rup, memerhatikan tabiat lurahnya. Sekali mata Mursid melirik ke kiri, sekali ke kanan. Kepalanya ikut pening. Bola matanya berubah juling. Dia menepuk-nepuk kepala, dan berkata, "Stop!"

Lurah Ko kontan stop. Matanya mendelik. "Apa alasanmu menggertakku?"

"Maaf, Pak! Kalau Bapak berpusing-pusing terus, kepalaku ikut pusing. Penyakit ayanku bisa kumat."

"Bagaimana ini? Warga sudah siap perang melawanku. Kau sudah menyiapkan anggota pengamanan?"

"Sudah siap, Pak! Carik, Godot, Ruslan, Parlin dan beberapa centeng pasar, sudah disiapkan. Tinggal menunggu perintah Bapak." Mursid menyeruput kopi yang sudah dingin di hadapannya. Suara karyawan di luar yang sibuk mengetik, meningkahi rasa hangat yang menjalar di dalam kepala Lurak Ko.

"Tapi kalau boleh aku ingin bertanya, Pak. Kenapa harga minyak tanah dinaikkan? Harusnya Bapak menaikkannya kalau warga sudah makmur. Sekarang tak hanya hama wereng yang melantak sawah. Babi hutan turun gunung menghabisi tanaman di ladang. Belum lagi serangan tomcat telah membuat semua orang ketakutan. Bapak tak memikirkan itu?"

Lurah Ko duduk di belakang meja. "Kau hanya kepala keamanan. Tak ada urusanmu masalah kebijaksanaan lurah. Yang penting, saat pengumuman kenaikan harga minyak tanah nanti, semua berjalan mulus tanpa hambatan. Aku tak ingin seorang warga pun berbuat onar. Lakukan pengamanan yang anarki. Kalau perlu pentung semua kepala. Tembak siapa saja yang berani melawan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun