Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tembang Mercusuar

6 Maret 2019   12:17 Diperbarui: 6 Maret 2019   12:20 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angin kemarau menjilat tubuhku. Terasa perih setelah hampir satu bulan aku bekerja diterpa matahari. Mercusuar yang hampir separoh jadi itu, sedikit membantu, saat aku berteduh di bawah bayangannya. Tapi, mandor kompeni itu bermata elang. Bila tidak cepat menjauh dari bayangan mercucuar, alamat sepatu menyasar bokong. Atau, popor senapan menghantam punggung.

"Bagaimana, Peng? Pulang, yok!" Mamat menyikut rusukku. Hari menjelang maghrib. Mandor kompeni itu sudah menghilang sejak tadi. Aku menampar-nampar bokong. Rasa sesal menguliti dada. Seandainya aku menuruti Munhadi, bergerilya di hutan dan menjadi ekstrimis, tentu pilihan yang lebih mengenakkan ketimbang harus kerja paksa, dan hanya mendapat ransum yang cocok diberikan kepada kambing. Namun mau apalagi? Isah sedang mengandung besar. Mungkin seminggu-dua dia akan melahirkan. 

Aku terkejut ketika melihat perempuan seperti Isah di antara lalu-lalang orang di Pelabuhan Tanjung Emas. Kenapa dia di sini? Seharusnya dia berada di rumah. Beristirahat, atau membantu Mak membuat tikar pandan. Atau, apakah aku salah lihat?

"Kenapa, Peng? Perutmu lapar?" Dia mengeluarkan beberapa keping uang dari balik lipatan celana. Aku tahu darimana uang itu. Tabiat Mamat tidak bisa diubah. Dia selalu berhasil mencuri uang di ruang kerja mandor kompeni itu. Berulangkali aku menyarankan agar dia menghentikan kebiasaan buruknya. Sepandai-pandainya dia, suatu kali bisa ditangkap, dan mendiami penjara. Atau, ditembak mati karena dianggap ekstrimis. Begitupun, beberapa potong kue dan segelas kopi, melenyapkan risauku. Juga tentang Isah.

Selepas isya aku tiba di rumah. Cahaya lampu teplok yang meliuk-liuk, mengintip dari jendela yang terbuka. Isah dan Mak belum tidur.  Isah bergegas membuka pintu. Dia terlihat masih rapi, seperti habis pergi ke mana. Dan ingatanku kembali kepada perempuan di antara lalu-lalang orang di Pelabuhan Tanjung Emas.

Setelah mencuci muka, aku duduk di teras sambil merasai kopi. Beda benar rasa kopi di rumah dengan kopi di warung. Lebih nikmat kopi di rumah. Isah menyusul, duduk di sebelahku. Rembulan terang, mengusap wajah perempuan itu. "Kau ada di pelabuhan tadi?" Aku sudah melarangnya ke pelabuhan. De Boer, kompeni brengsek itu, pasti kesenangan bila melihat Isah. Entah kenapa dia begitu menyukai perempuan bersuami dan sedang hamil besar. Kompeni suka aneh, sinting!

"Hmm, aku tidak ke pelabuhan!" Isah tertunduk. Bingung.

"Kenapa kau harus menunduk?"

"Tadi pagi, De Boer...."

"Nah, apa kubilang, De Boer lagi!" selaku. "Lanjutkan ceritamu!"

"Dia melihatku di pasar bersama Mak. Dia merayuku seperti yang sudah. Mak menyuruh dia menggoda perempuan lain saja, yang muda dan belum bersuami. Tapi, dia tidak mau."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun