Ke depan ini kita akan menyelenggarakan 0pesta demokrasi atau ditabalkan dengan nama pemilu. Yang namanya pesta tentunya membuat ceria. Alih-alih membuat ceria, saya kok menjadi pemalu.
Begini, ada beberapa kiat---ralat---maksud saya penyebab rasa pemalu itu. Pertama, saya menjadi pemalu keluar rumah. Ibarat kukang dadakan, saya silau melihat keramaian. Akan banyak orang yang pura-pura ramah pada saya. Ujung-ujungnya menanyakan saya akan memilih caleg siapa. Seperti salesman mereka akan menjual caleg. Merayu saya agar mencoblos jagoannya. Memastikan jangan berpindah ke lain hati dengan mencatat nama saya. Faedah jangka panjang apabila caleg "jagoan" menang menjadi dewan, tentu saya berkesempatan keluh-kesah tentang kendala hidup ke depan kepadanya. Faedah jangka pendek adalah "siraman" yang menambah sementara pundi-pundi ini. Padahal jauh-jauh hari saya ingin caleg si nganu alias si ngini. Sekarang saya menjadi gadis pingitan karena tidak enak menolak rayuan, siapa tahu akan memutus pertemanan.
Kedua, saya menjadi pemalu terhadap tumbuh-tumbuhan sebagai sesama makhluk Tuhan. Mereka juga ingin bebas beraktifitas. Ini malah dapur tempat masak mereka terganggu karena dihalangi dari kompor gas bernama matahari. Belum lagi paku-paku, tali pengikat, menjelma seperti kolesterol jahat dalam pembuluh darah manusia, mengganggu arus makanan pada kambium. Siapa tahu tumbuhan terkena penyakit darah tinggi lantaran pemilu. Kalaupun bukan penyakit darah tinggi namanya, yang jelas andai memiliki mulut, tumbuhan itu akan protes.
Ketiga, saya pemalu kepada pemakai jalan. Apabila hujan turun menghempaskan apa saja, terkadang spanduk caleg atau partai, beterbangan ke mana-mana. Menganggu penglihatan pemakai jalan. Bahkan mereka sering celaka saat tiang-tiang spanduk atau penjor menimpa kepala. Alamak sakitnya tidak seberapa, malunya memenuh dada.
Keempat, saya pemalu kepada rakyat sekitar yang tiba-tiba jalan mereka dibenahi. Dibenahi tempat ibadah mereka. Padahal itu murni proyek PU. Para caleg (biasanya sedang menjabat anggota dewan) seakan pura-pura membantu pembangunan jalan rakyat. Ujung-ujungnya, orang awam merasa bahwa pembangunan jalan mempergunakan dana si caleg, padahal dana yang digunakan adalah anggaran pemerintah via PU. Para caleg itu hanya mengalihkan lokasi pembangunannya. Ajaibnya, hanya menjelang pemilu para caleg baiknya tak ketulungan, selepas terpilih menjadi dewan, lima tahun batang hidungnya tak kelihatan. Gedung dewan juga tak jarang kosong melompong, kecuali ketika ada masalah yang berhubungan dengan rapat-rapat berbau anggaran dana.
Setahu  saya,  tugas dan tanggung jawab dewan itu (dalam hal ini saya fokus ke DPRD) adalah membentuk peraturan daerah bersama-sama bupati atau gubernur,
membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai APBD yang diajukan oleh bupati atau gubernur,
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan APBD, mengusulkan pengangkatan dan atau pemberhentian bupati/gubernur dan atau wakil bupat/wakil gubernur kepada menteri dalam negeri demi mendapatkan pengesahan pengangkatan dan atau pemberhentian, dan lain-lain. Intinya tak ada tanggung jawab mengecor jalan, bla-bla-bla.
Harapan saya setiap pemilu akan digelar, para caleg lebih terhormat ketika "menjual" diri, yakni tidak money politics, ramah terhadap alam dan lingkungan dengan "menjual wajah" pada tempat-tempat yang tak mengganggu sekitar, dan bekerjalah untuk rakyat selama lima tahun alias tak hanya bekerja sebulan-dua menjelang pemilu sekadar menarik simpati dadakan. Saya tak ingin pemilu selanjutnya menjadi pemalu lalu memilih golput dengan malu-malu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H