Suatu hari aku menemukan gembok di kepala Ibu. Kala itu, seperti biasa dia memintaku mencari kutu. Sesaat aku terkesiap. Tanpa bersuara. Isi kepalaku berpusing. Dipenuhi tanda-tanya. Apakah Ibu sebangsa kuntilanak yang ditangkap Ayah, lalu menikahinya? Entahlah! Â Yang kutahu, kepala kuntilanak dipaku agar tak ganas. Atau, Ibu masih sebangsa perempuan bunian? Tapi kenapa baru sekarang aku menemukan gembok di kepala ibu? Bukankah sudah kali kesekian aku mencari kutunya?
"Kenapa kau berhenti!"
Sikap Ibu lain dari biasanya. Matanya nyala api. Mulutnya lorong yang sanggup menghisapku. Mungkin karena rahasianya terbongkar. Bahwa dia bukan manusia sungguhan.Â
Aku ingin bertanya kepada Ayah perihal Ibu. Sayang, Ayah tak ada di rumah. Dia di pulau seberang laut, dan tak mungkin pulang satu atau dua hari ke depan. Ombak cukup tinggi. Badai laut mengganas.Â
"Kenapa kau diam? Kau lapar? Â Ayo, kita makan dulu. Tadi, Ibu masak panggang ikan. Dicocol sambal kecap, pasti enak!" Ibu kembali ke muasalnya. Perempuan baik hati.Â
Mata itu ternyata bukan nyala api, tapi teduh seperti embun yang lambat menjalar di daun talas. Mulut itu bukan lorong hitam yang menghisap, tapi sebangsa liang yang menyebarkan harum bunga.
Aku kemudian lupa tentang gembok di kepala Ibu. Juadah teramat lezat. Kening Ibu berkeringat. Bajuku basah, lalu kubuka dan sampirkan di tangan-tangan kursi. Ibu masih ingin dicarikan kutu. Tapi aku terlanjur terlentang dan bermimpi. Kucuri kunci di lipatan celana Ayah di lemari pakaian. Kubuka gembok di kepala Ibu.Â
Seketika Ibu bertambah cantik. Bertambah muda seperti Labibah yang senang berbaju ketat dengan lipstik yang membara. Kemudian tubuh Ibu mengapung dan terbang ke angkasa.
"Ibu!" jeritku.Â
Aku tersentak. Malam telah mengetuk jendela. Ternyata aku telah berada di atas kasur. Mungkin Ibu yang memindahkanku dari ruang depan ke kamar. Ibu tak ada di sebelahku. Entah ke mana dia.Â
* * *
Sudah seminggu Ayah tak pulang-pulang. Ombak laut kembali tenang. Aku bisa berlarian sejauh puluhan langkah ke pelukan laut. Kata para nelayan, badai tak ada. Laut sangat bersahabat. Setiap pulang pagi, timbunan beragam hewan laut memenuhi perahu-perahu mereka.Â
Berdua Ibu di beranda rumah, kutanyakan perihal Ayah. Rinduku mengarat kepadanya. Terutama janjinya mengajakku jalan-jalan ke kota.Â
"Ayah mungkin sibuk!" Singkat sekali jawaban Ibu. Padahal kalau Ayah ada, Ibu suka mengoceh. Marah-marah sambil membanting apa saja yang ada di dekatnya. Di kali lain suara Ibu hanya sungutan, dan dia serupa ular yang menjalar di pundak Ayah.
Aku mencoba menatap ke dalam mata Ibu. Tak kutemukan rahasia tersembunyi. Dia berdiri dan berjalan ke dapur. Pasti dia marah. Tapi suara lembut memanggilku. Katanya kami harus makan malam. Dia masak enak. Sesenja ini? Ah, aku hanya menggeleng-geleng.
Kemudian cerita Ayah kudapat dari Morang, teman setia Ayah. Katanya Ayah menghilang ditelan ombak. Ayah bersikeras menyerahkan diri kepada laut setelah tiga hari tak bisa pulang ke kampung.Â
"Kenapa tak Paman tahan niatnya?" Aku teringat janji ayah jalan-jalan ke kota.
"Bagaimana Paman menahannya? Kau tahu tabiat ayahmu. Susah dikekang!."
Air mataku jatuh. Langit senja redup. Laut mulai pasang. Perahu yang tertambat di tiang kayu, mengangguk-angguk.
"Berarti Ayah mati? Kenapa Ibu tak bercerita kepadaku?"
"Ayahmu belum mati. Tapi hilang di pelukan laut yang ganas."
Sebatas itu kami bercerita. Dia berjanji mengajakku ke kota seperti janji Ayah.Â
Tumbal kesal beradu sedihku, akhirnya tertuju kepada Ibu. Dia telah membohongiku. Kenapa dia tak berterus-terang kepadaku perihal Ayah? Bisanya hanya menunduk, mengajak makan, atau berdiam seperti mencintai sepi.
Karena hati ini terasa tertikam, tiba-tiba benciku kepada Ibu menjelma tunas. Aku sengaja menahan kantuk hingga dia tertidur. Kutelisik rambutnya. Gembok itu masih ada. Biarlah kubuka saja. Biarlah dia menjadi kuntilanak dan kembali ke asalnya.
Kucari kunci gembok itu di lemari pakaian seperti mimpiku yang sudah. Di setiap lipatan celana Ayah, tanganku telaten meraba. Aha, akhirnya tanganku menyentuh kunci itu!Â
Ajaib! Kau pikir aku berhalusinasi? Ah, tidak. Ini memang benar-benar nyata!
Kubuka gembok di kepala Ibu. Kubuang gembok beserta kuncinya ke dalam sumur. Kemudian kupelototi Ibu. Berharap dia tersentak dan terbang ke langit. Tapi sampai mataku berat, tak terjadi apa-apa. Hanya suara napas Ibu beradu desah ombak meningkahi kamar. Yakinlah aku semua ini hanya halusinasi.
Pagi harinya aku tersentak mendengar suara tangis yang sangat menyayat. Kulihat Ibu duduk di beranda depan. Dia terpekur. Dialah yang menangis itu. Air matanya laksana hujan membasahi pasir pantai.Â
Meski kuguncang bahu Ibu, menyuruhnya berhenti menangis, tangisannya malahan semakin besar. Air matanya laksana air bah.Â
Aku menemui Morang. Kukatakan tentang Ibu yang menangis. Morang menemui beberapa nelayan. Dia katakan tentang Ibu yang menangis. Lalu, kami semua berkumpul mengelilingi Ibu.Â
Dari cerita Morang dan mulut para nelayan, aku memiliki Ibu baru di pulau seberang laut. Itulah yang membuat Ibu menangis. Atau, dia menangis tersebab gembok itu kubuka?
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H