Sudah seminggu Ayah tak pulang-pulang. Ombak laut kembali tenang. Aku bisa berlarian sejauh puluhan langkah ke pelukan laut. Kata para nelayan, badai tak ada. Laut sangat bersahabat. Setiap pulang pagi, timbunan beragam hewan laut memenuhi perahu-perahu mereka.Â
Berdua Ibu di beranda rumah, kutanyakan perihal Ayah. Rinduku mengarat kepadanya. Terutama janjinya mengajakku jalan-jalan ke kota.Â
"Ayah mungkin sibuk!" Singkat sekali jawaban Ibu. Padahal kalau Ayah ada, Ibu suka mengoceh. Marah-marah sambil membanting apa saja yang ada di dekatnya. Di kali lain suara Ibu hanya sungutan, dan dia serupa ular yang menjalar di pundak Ayah.
Aku mencoba menatap ke dalam mata Ibu. Tak kutemukan rahasia tersembunyi. Dia berdiri dan berjalan ke dapur. Pasti dia marah. Tapi suara lembut memanggilku. Katanya kami harus makan malam. Dia masak enak. Sesenja ini? Ah, aku hanya menggeleng-geleng.
Kemudian cerita Ayah kudapat dari Morang, teman setia Ayah. Katanya Ayah menghilang ditelan ombak. Ayah bersikeras menyerahkan diri kepada laut setelah tiga hari tak bisa pulang ke kampung.Â
"Kenapa tak Paman tahan niatnya?" Aku teringat janji ayah jalan-jalan ke kota.
"Bagaimana Paman menahannya? Kau tahu tabiat ayahmu. Susah dikekang!."
Air mataku jatuh. Langit senja redup. Laut mulai pasang. Perahu yang tertambat di tiang kayu, mengangguk-angguk.
"Berarti Ayah mati? Kenapa Ibu tak bercerita kepadaku?"
"Ayahmu belum mati. Tapi hilang di pelukan laut yang ganas."
Sebatas itu kami bercerita. Dia berjanji mengajakku ke kota seperti janji Ayah.Â