Aku adalah pecundang dari kumpulannya terbuang. Aku teringat perkataan lelaki itu, yang selalu mengepit sebatang sigaret di sela jemarinya.
Dia benar. Aku pecundang. Aku hanya pungguk merindukan bulan. Bagaimana mungkin hubungan yang kami rawat hampir tiga ratus hari, aku tak memiliki kesempatan berdua. Mengadukan cintaku kepadanya.
Aku bisa saja memerintahnya macam-macam. Tubuhnya bisa kukendalikan, tapi hatinya tidak.
Pernah sekali saat menunggu sunset, aku mengajaknya berbincang. "Salsa, aku ingin berbicara denganmu."
"Tentang apa? Sekarang kau sedang berbicara kepadaku, kan?" Dia memunggungi aku. Berlipstik sambil memain-mainkan bibir. "Kenapa kau menatapku begitu?"
"Aku, aku, aku..." Seketika dua kepala mungil muncul di belakangku.
"Om, beli koran, Om. Murah, kok! Masih hangat, baru keluar dari oven.'
Perempuan itu tertawa. Aku kehilangan kata-kata. Rahangku mengeras. Aku juga tertawa, dengan amat kesal.
"Hari.ini kita mau ke mana?" Dia bergelayut manja di bahuku.
"Rumah kosong!"
"Kalau aku sih takut. Kalau kamu?"