Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Balada Lativa

11 Februari 2019   22:24 Diperbarui: 11 Februari 2019   22:30 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di bawah teratak yang tersusun rapi itu, orang penuh sesak. Sebagian kecil duduk di kursi kayu panjang. Sebagian besar bersila di atas tikar pandan, beralaskan tanah becek sisa hujan. Benar-benar tak menyurutkan niat mereka untuk membatalkan takziah hari pertama kematian Ompung Somang yang ganjil itu. Tak perduli rintik hujan masih setia mengiringi meninggalnya tokoh terpandang di kampung itu. Tak risau bagaimana nyamuk merubung, membuat wajah, telinga, lengan dan ujung kaki, gatal bukan kepalang.

Di antara tokoh kampung yang juga imam shalat, Ompung-lah yang paling baik perilakunya. Dia mengimami shalat lebih pelan dari Haji Edi, si laju kereta api. Orang-orang tua merasa patah-mematah tulangnya, tak bisa mengikuti laju kereta api itu. Sebaliknya dia mengimami shalat lebih cepat dari Haji Tulang yang seperti lambannya laju pedati. Orang-orang tua merasa gemetar dan mata berkunang, bahkan sebagian memilih shalat duduk.

"Eh, benar nggak dia mati karena bunuh diri?" Lelaki yang penuh jambang, sehingga membuat orang sulit membedakan mana wajah dan mana jambang, mulai menggibah. 

"Dengar-dengar demikian. Tapi, pihak keluarga sengaja menutup-nutupi. Aku sebenarnya kurang percaya. Cuma, bukti tak bisa dipungkiri. Lativa  hamil!" Lelaki yang suka mengorek-ngorek lobang hidung, menimpali. 

Di dalam rumah ahli musibah, pembacaan Yasiin  dimulai. Beberapa yang di dalam itu seperti sengaja menoleh ke arah orang-orang di bawah teratak, yang lebih banyak berbisik-bisik ketimbang membaca Yasiin. Mungkin sebagian sedikit menyesal, kenapa tak bergabung saja di bawah teratak. Menggibah itu enak sekali. 

"Maksudmu, Lativa dihamili Ompung?" kejar si jambang bernafsu. Ludahnya berloncatan.

"Siapa lagi yang menghamilinya? Karena tak tahan menanggung malu, semprotkan baygon, sayang! Ya, tewas!"

* * *

Setengah tahun lalu, seorang ibu dan anak gadisnya bertamu ke rumah yang dituakan itu. Istri pemilik rumah menyuruh mereka masuk. Suami pemilik rumah yang sering disebut orang Ompung Somang, pun keluar dari bilik. Dia menatap si ibu sekilas. Dan agak lama menatap anak gadis itu. Ketika duduk di sebelah istrinya, sebuah injakan dari si istri, menjadi penanda agar dia berpaling dari anak gadis itu.

Si ibu dan anak gadisnya menyalami Ompung dengan takzim. Setelah menyantap hidangan dan bicara panjang lebar, akhirnya terbukalah omongan, bahwa tujuan dua tamu itu adalah meminta pertolongan.

"Jadi maksud Adik, mau menitipkan Lativa di rumah ini?" Agak kusut raut wajah istri Ompang. Lativa yang cantik dan bertubuh sintal, jelas akan menjadi duri dalam daging. Memang itu cuma ketakutan istri Ompung semata. Tapi, bukankah kembang mawar yang cantik dan wangi, akan membuat kumbang gelap mata?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun