Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Sang Peracik

10 Februari 2019   17:48 Diperbarui: 10 Februari 2019   22:34 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salmiah adalah perempuan gendut yang berjualan di pinggir pasar. Usianya tiga puluh lima tahun. Dia dipanggil Mak Sirin. Bukan berarti nama anaknya Sirin. Dia sama sekali belum menikah. Sirin itu nama kucing yang setia menemaninya berjualan.

Meskipun tidak ada lelaki yang mendekati Salmiah, tapi para perempuan sering merubunginya. Dari yang namanya ibu-ibu, sampai gadis beranjak dewasa. 

Salmiah bisa membuat perempuan yang tidak bisa memasak, menjadi koki super hebat. Dia menjadi guru masak yang handal. Bumbu yang diraciknya membuat setiap makanan menjadi enak. Misalnya, ketika seseorang buta sama sekali cara membuat rendang, Salmiah akan meramu sedemkian rupa.

Dia menjelaskan kepada pembeli bagaimana langkah-langkah membuat rendang. Dan hasilnya ajaib, rendang tersebut menjadi sangat enak di tangan perempuan yang sama sekali buta memasak.

Padahal boleh dikatakan, tempat Salmiah berjualan, jauh dari layak. Lokasinya di sudut paling sudut pasar. Menyempil di dinding toko kelontong. Atap tempatnya berjualan sudah banyak yang bolong. 

Apabila gerimis tiba, terpaksa seluruh bumbu ditutup kain terpal. Tapi, kalau gerimis menjadi hujan yang sangat deras, seluruh bumbu dipindahkan ke rumahnya. Itu artinya dia berhenti berjualan. Meskipun begitu, tetap saja pembeli mengejarnya. 

Tersebutlah Roji yang berjualan dalam toko permanen. Jauh dari becek. Bila hujan deras mengguyur, dia tetap aman berjualan. Tokonya paling tinggi di antara toko lain. Hanya saja tokonya sering sepi pembeli. Dia heran, kenapa bisa demikian. Padahal bumbu racikannya bermacam-macam. Apa yang dijualnya sama seperti yang dijual oleh Salmiah. Bahkan jualannya melebihi Salmiah.

Tapi, dia tak mengerti sama sekali dengan memasak. Bumbu raciknya sebagian dibuat oleh karyawannya. Sebagian lagi buatan pabrik. Bila ada pembeli yang buta memasak, maka dia tetap buta memasak. Bumbu racik yang dibelinya dari toko Roji tak berkhasiat sama sekali.

Suatu hari yang cerah, sengaja Roji menutup tokonya. Dia pergi ke tempat berjualan Salmiah. Dia terbelalak melihat pembeli yang berjubel. Hampir dua jam dia baru bisa lebih dekat dengan Salmiah. Itu pun karena bumbu racik yang dijual si Mak Sirin hampir habis.

Perempuan itu terkejut melihat kedatangan Roji. Apa gunanya dia ke tempat Salmiah berjualan? Bukankah jualan mereka serupa? Atau? Salmiah berusaha melemparkan senyuman termanis, "Eh, Mas Roji. Tumben-tumbenan ke mari." Segera dia ambil kursi untuk tamunya itu.

"Aku mau lihat-lihat saja. Hari masih siang begini, bumbu racikmu hampir habis. Hebat!" Roji mengedarkan pandang, lalu dia tersenyum. Berdetak juga hati Salmiah. Dia curiga Roji iri atau ada maksud apa. Tapi, ternyata dia hanya heran melihat bumbu racik yang dijual Salmiah, laris bagaikan kacang goreng. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun