Perempuan kedua menatap gerbang. "Mungkin terhalang hujan. Bulan Mei terlalu aneh, selalu hujan. Tapi... anakku kan diantar dengan mobil! Atau, asmanya kambuh? Itulah, kalau punya tubuh, Â jangan berbobot berat." Dia menyilangkan tangan di depan dada. Kemudian mengigit keras ujung kuku jari jempol. Dia gelisah. Sangat gelisah.
"Aku takut...." Perempuan ketiga melepas topinya.
"Takut kenapa?" Perempuan kedua menanggapi.
"Takut anakku berhenti lama di tempat toko penjual boneka," jawabnya pelan.
Perempuan pertama mendesis. "Anakmu kan laki-laki!" tegasnya.
"Ya, tapi dia senang boneka, juga payung merah jambu."
Tiba-tiba hujan turun pelan, lalu menebal dan lebat. Petugas di peron itu berusaha menghalau galau dan dingin dengan menyalakan telivisi. Seorang perempuan muncul di layar kaca, pertama samar, kemudian jelas dan tegas.Â
Dia memberitakan seorang anak perempuan mati. Anak itu ditemukan diselokan. Dia telanjang, dengan kemaluan yang luka. Dari beberapa saksi diketahui, sebelumnya ada sekelompok remaja laki-laki yang mabuk-mabukan di sekitar situ. Sekarang mereka sedang diburu polisi. Samar terlihat jasad mungil. Perempuan pertama teringat anaknya.
Beralih ke berita berikutnya, seorang anak perempuan ditemukan pingsan di dekat gudang tua. Tangan dan kakinya diikat. Mulutnya ditutup lakban. Menurut polisi, ada kemungkinan anak itu korban pemerkosaan. Mungkin oleh orang yang dia kenal dekat. Perempuan kedua terbayang anaknya. Dia meremas tangannya yang seketika amat basah.
Suara telivisi mendadak hilang ditimbun suara riuh orang. Mereka menggebuki seorang lelaki. Mungkin copet atau pelaku curas. Namun, berita yang dibawa penjual koran, lelaki itu tertangkap basah melakukan pencabulan terhadap anak laki-laki. Anak laki-laki itu pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Perempuan ketiga teringat anaknya. Dia meneteskan air mata.
Ketiga perempuan itu saling menatap. Mereka bingung. Tak ada lagi tempat yang aman untuk anak-anak mereka di negeri ini.