"Ah, tidak!" kilahku. Kulihat anak di sebelahnya mulai menguap. Celotehnya hanya tinggal terdengar sekali-sekali. "Anak anda?"
"Ya!" Dia menutup novel tebal itu. Sebelum menutupnya, dia menyelipkan sehelai karton bergambar Snoopy di antaranya sebagai pembatas. "Anda mau ke Tanjung Karang?"
Aku mengangguk. Kutawarkan dia sebatang rokok. Tapi dia menolak. Matanya bercahaya melihat tumpukan buku-bukuku. Salah satu buku berjudul Perempuan-Perempuan Hebat, membuatnya antusias. Dia meminjam sebentar dan membaca prolognya.Â
"Buku ini sungguh berbobot," ucapnya jujur.
"Itu buku kesayanganku. Sudah berulangkali kubaca. Bahkan setiap kata-kata penting di dalamnya sudah kutandai dan lekat di otakku. Dia telah membuatku merasa tegar."
Tegar? Ah, tidak! Mungkinkah aku dapat tegar setelah beberapa minggu belakangan ini aku selalu memimpikan Imah? Mungkinkah ketegaranku bukan sebentuk keegoisan? Aku telah menempatkan posisi Imah pada kondisi sulit. Dia masih anak-anak dan tidak mengerti perceraian. Tapi mengapa setelah tiga tahun berlalu, aku baru merasakan kegelisahan ini?
"Maaf, nama anda siapa?" tanya perempuan itu sambil mengulurkan tangan. "Namaku Ratna!"
Kusambut jabat eratnya dengan mengatakan, "Saraswati!"
"Saraswati? Oh, ya! Anda sang sekretaris hebat itukah? Aku pernah membaca profil anda di majalah perempuan. Apakah aku benar?"
Sambil tersipu aku menjawab, "Anda benar, Ratna. Tapi aku hanya perempuan biasa. Sama seperti anda."
"Kenapa, eh...mungkin lebih baik jika aku memanggil anda Mbak Saras, mengambil kelas ekonomi? Seharusnya duduk di kelas bisnis saja. Tidak apek seperti di sini."