Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luhur

6 Februari 2019   09:49 Diperbarui: 6 Februari 2019   11:26 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Bibirnya kelu. Kata-kata Bapak yang menghantam gendang telinganya, terasa menyakitkan. Gadis beranjak dewasa ini hanya dapat tertunduk. Diam-diam melipat ujung bajunya. Membiarkan gerai air mata menjalari pipi, menitik dan menindas lantai papan dengan bunyi tetes halus.

Dia tak menyangka Bapak sedemikian marah. Sejak kecil sampai berumur hampir tujuhbelas tahun ini, dia tak pernah merasakan bagaimana amarah seorang Bapak. Tiada sekalipun dia membentak Luhur. Dia selalu menuruti semua kemauan putri satu-satunya itu. Hingga, kalau sang putri berbuat salah yang parah, dia hanya tersenyum dan mengeluarkan kata-kata nasehat.

Seperti dulu ketika kacamata Bapak dipecahkannya. Si Bapak hanya menyarankannya agar berhati-hati. Begitu pula ketika dia sengaja terlambat pulang sekolah karena ingin melihat anak-anak lelaki mandi-mandi di kolam retensi. Bapak hanya mendehem seraya memintanya jangan mengulang perbuatan itu untuk yang kedua kali. 

Sementara tangan Bapak yang kukuh mengusap-usap seluruh tubuh Luruh dengan handuk. Karena semua pakaiannya kuyup. Anak-anak lelaki yang mandi-mandi itu telah menyiraminya tanpa kasihan, meskipun dia menjerit-jerit meminta agar mereka berhenti. Tapi mereka menganggap itu adalah semua mainan.

Lalu, kenapa untuk masalah yang satu ini Bapak teramat marah?

* * *

Dia bernama Luhur. Menurut Bapaknya yang biasa dipanggil orang Pak Barda, nama Luhur adalah pemberian Ibu Luhur sendiri. Mungkin dia kelak menginginkan putrinya tumbuh-kembang menjadi perempuan berbudi luhur. Luhur tak perlu cantik, sebab keluhuran hati bisa mengalahkan kecantikan wajah.

Sayang sekali, ketika Luhur masih berusia dua tahun, Ibunya meninggal dunia. Praktis dia menumpukan hidup dan kasih-sayang kepada seorang Bapak semata. Maka sudah sewajarnya hubungan mereka sedemikian erat. Mereka bagai insan yang tak bisa dipisahkan. Kasih-sayang itu menghambur, membuncah. Tawa mereka tak terlerai setiap kali sempat memancing ikan di pinggiran sungai. Ah, Luhur menjadikan Bapak sebagai lelaki idolanya. Sedangkan Bapak mengaguminya sebagai perempuan tercantik di dunia.

Hingga kemunculan Guntur, pemuda dari tanah Batak itu, lambat-laun melunturkan keidolaaannya atas nama seorang Bapak. Guntur seorang supir angkot. 

Sejak Luhur naik kelas ke kelas dua SMA, angkot yang disetiri lelaki itu selalu menjadi langganannya. Maka itu, lambat laun keakraban terjalin di antara mereka. Luhur yang biasanya duduk di bangku belakang, berubah posisi di dekat sopir. Mereka pun selalu berbincang ria. Tentang apa saja, dan lelaki itu senang bercanda. Ya, seperti Bapak. Barangkali itulah awal pertama yang menyebabkan Luhur menyenanginya. Walau dia tahu umur mereka berbeda jauh. Guntur duapuluh lima tahun, sedangkan Luhur saat itu enam belas tahun.

Perhatian Guntur menjadi-jadi kepadanya. Kerapkali kalau terlambat pulang sekolah, Guntur tetap setia menunggunya dan membiarkan penumpang lain terbengkalai. Puncaknya kemarin, saat persahabatan mereka mencapai usia hampir dua tahun, Guntur mengungkapkan keinginannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun