Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Antu Banyu 1

1 Februari 2019   10:58 Diperbarui: 2 Februari 2019   13:17 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : pixabay.com

Bila sempat, bertandanglah ke mari. Lihatlah Sungai Musi sedemikian dekat. Sangat dekat. Bunyi arusnya yang tenang, bisa kau dengar. Halus.

Kami berumah di sini, Kawan. Di atas Sungai Musi. Di rumah rakit yang mengambang seperti ketek2). Bila sungai surut, rumah rakit kami lebih rendah dari bantaran. Beda kalau sungai pasang, rumah rakit kami sepantar bantaran. Bahkan lebih, karena air telah menggenangi perkambungan di darat.

Namaku Misni. Umurku sekitar empat belas tahun. Itu yang kutangkap dari omongan Emak. Aku tak bersekolah seperti teman-teman di darat. Setiap hari bila jenuh di rumah rakit -selain bertandang ke rumah Nyai Bedah- aku bermain di sungai. 

Berenang seperti ikan. Berlama-lama hingga aku merasakan tumbuh insang di bawah daguku. Aku seolah memiliki sisik. Jari-jemari tangan dan kakiku, seakan disatukan gelambir. Emak sering menyentakkan halusinasi itu dengan sapu lidi yang digamang-gamangkan di udara.

"Sedari pagi masih berendam terus. Mau jadi apa? Jadi ikan? Apa tak takut dimakan antu banyu? Lihatlah anakmu ini, Yah!" Emak menceracau. Selalu begitu yang dikatakannya. Aku diumpankan sebagai anak Ayah. Bukankah aku anak Emak juga? Aku lahir dari rahimnya!

Biasanya Ayah mendekatiku. Dia membujuk agar aku naik ke darat. Telaten sekali dia mengelap badanku dengan handuk yang bolong di sana-sini. Sambil pula dia berceloteh bahwa kalau mandi di sungai, aku harus mengenakan kain basahan. Aku sudah hampir dewasa. Tubuhku mulai matang. Malu dilihat orang.

Aku pun mengangguk geli, meskipun apa yang diucapkan Ayah, susah kucerna. Aku tetap merasa kanak-kanak. Aku masih ingin dibopong Ayah dari sungai.

"Aku hendak ke pasar, belanja!" Emak mendengus, dan dia seolah terbang ke perkampungan.

Ayah tersenyum kepadaku. Seperti biasa, dia mengajakku ke perkampungan. Mengajakku berkeliling-keliling sebentar naik becak. Kemudian mentitipkanku ke Nyai Bedah, hingga dia pulang menjemputku setelah beroleh cukup uang.

O, ya. Selain tak bersekolah, aku tak ada kawan bermain. Aku dijauhi anak sebaya. Mereka mendekatiku sekadar mengolok-olok. Bila aku marah sambil mengancam dengan sebutir batu atau sebatang dahan, mereka langsung menghambur. Berlarian sambil terkikik-kikik. Kemudian datang lagi sampai mereka bosan sendiri.

"Misni... Misni itu apa, ya?" Anak-anak mulai menggodaku. Ayah sudah pergi  membecak. Nyai Bedah sibuk di dapur rumahnya. "Misni anak buaya putih! Buaya siluman! Misni bisa hidup di sungai berjam-jam. Lihatlah dia memiliki sisik."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun