Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Awalnya Sangat Sederhana

28 Januari 2019   21:32 Diperbarui: 29 Januari 2019   03:32 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://protisedi.cz

Awalnya sangat sederhana. Kampung kami menggeliat setiap kali azan shubuh menggema di musholla. Perempuan kemudian sibuk di dapur menghimpun api dan asap demi melepas lelaki-lelaki ke ladang atau sawah. 

Manakala matahari menyembul di balik bukit, kaum lelaki telah bertaruh keringat di ladang dan sawah sambil mengisap rokok daun nipah, sesekali pula bersenandung. Kaum perempuan, kalau tak membantu lelaki-lelaki di sawah, mereka menbentangkan tikar pandan untuk menjemur padi. Ada juga yang menghamparkan begitu saja biji-biji kopi di jalanan berbatu. 

Siang hari, usai pekerjaan penat dan bersantap yang hangat-hangat, kaum lelaki mengumpullah di kedai. Mereka bersendagurau sembari menyeruput kopi. Mereka berbincang tentang segala yang terbetik di benak hingga sore atau malam merapat. Kaum perempuan, seperti biasa menyelesaikan tugas sehari-harinya di rumah.

Tapi kondisinya tak sesederhana sekarang ini. Kedatangan Baruar, sarjana yang sudah malang-melintang di kota Jakarta, perlahan meracuni pola hidup dan pikir orang di kampung kami. Iseng-iseng saja dia bercerita tentang batu yang mengganjal gubuk di ladang keluargaku. Katanya batu itu bisa dijual dengan harga mahal. 

"Berharga mahal?" Sonip melotot ketika Baruar mengajak para lelaki berbincang di kedai.

"Iya, batu itu berharga mahal. Itu namanya batubara."

"Oh, sama dengan si Ucoklah!" canda Harefa. Ucok itu orang Batak yang masih bertetangga dengan Harefa.

"Batubara yang itu adalah marga, Harefa! Yang ini batu sebenar-benar batu. Sudahlah, kau ini mau mengacau saja!" geram Sonip yang sedang serius mendengar penjelasan Baruar. Air liur lelaki itu hampir menetes karena mulutnya mangap seperti mulut mujair.

Baruar bermaksud membeli batubara itu dari ayahku. Tentu saja sekalian ladang. Alih-alih jangankan menolak keinginannya, ayah nyatanya setuju ketika Baruar mengatakan akan membeli ladang kami. Berbinar pula seperti mutiara matanya, saat Baruar memberikan persekot sekian ratus ribu rupiah.

Itulah, lama-lama semakin bebas Baruar, bersama beberapa warga dan temannya dari kota, mengambil batu hitam itu dari ladang kami. Mobil-mobil truk beroda besar pun masuk seperti kesetanan. Jalanan berbatu kemudian berlobang dan penuh lumpur. Orang-orang kampung bukannya marah, malahan mengagumi mobil-mobil truk itu. Ada pula yang mengambil kesempatan, membuka warung-warung kecil penjual kopi dan panganan di pinggir jalan. Sementara telingaku mulai sakit mendengar keluargaku dikatakan orang kaya baru. Apalah pula yang hendak dibantah. Ayah telah membeli sepeda motor, meskipun berhutang. Padahal dia tahu bahwa dia telah kehilangan pohon-pohon karet yang bergetah banyak. Dia tahu aku kehilangan tempat bermain bersama kekanak.

Semakin hari pendatang baru bertambah ramai memenuhi kampung kami. Mesin-mesin berbagai rupa juga didatangkan entah dari negeri mana, yang besar, yang kecil. Orang-orang kampung bagaikan burung perkutut manggut-manggut, kompak menjual ladang maupun sawah mereka, setelah Baruar berkata seibarat titah, "Nah, di tempat ini banyak batubaranya."

Aku tak bisa lagi menjalani hari dengan tenang. Entah yang lain. Bunyi-bunyian seolah memekakkan telinga. Tak hanya siang, malam pun orang sibuk menggali perut bumi. Aku sendiri heran, kapan mereka tidur.

Bulan berganti bulan. Tak hanya ladang dan sawah yang tergadai kepada Baruar, tapi rumah-rumah orang kampung mulai dirubuhkan. Pertama rumah orangtuaku. Meskipun aku sempat memerotes, namun ayah lebih mempertahankan nafsunya. Kami tinggal sementara di rumah Paman Rud, bejarak sekian kilometer dari kampung kami. 

Disusul rumah Pak As, rumah Lebai, rumah Mat dan rumah-rumah lain. Sepertinya semua senang digusur. Gumpalan uang di tangan, telah membuat orang kampung gelap mata, kecuali mungkin aku. Masing-masing rela pindah dari tanah leluhur demi uang.

"Kita kaya, Anisah!" kata ayah kepada ibu,saat kami sama-sama duduk di lantai teras rumah Paman Rud. "Aku bisa berusaha mulai sekarang. Kabarnya Pak Leman mau mengontrakkan lapaknya di pasar kecamatan. Jadilah, aku berjualan barang pecah-belah saja."

"Apakah kita akan tetap tinggal di rumah Paman Rud selamanya, Yah?" Aku menengahi. Ayah mendehem pertanda kurang senang omongannya disela.

"Kita pikirkan nanti saja!"

Akhirnya habis sudah penghuni kampung di punggung bukit itu karena segala rumah telah rata dengan tanah, segala tanah telah dijualkan. Tak hanya Baruar yang kini berkuasa, tapi telah ada bos dari Jakarta. Dia memiliki perusahaan besar. Dialah yang akan mengelola seluruh batubara di perbukitan itu.

Mobil-mobil truk kemudian tak hanya puluhan yang melintas. Ratusan menjejer sepanjang jalan. Saling berkejaran seperti bajing, Kami hanya ditinggalkan debu bila kemarau, atau lumpur ketika hujan. 

Pernah sekali seorang warga terpelanting dari sepeda motornya sebab jalanan licin. Untung saja dia tak mati. Tapi sekali ada juga yang mati ditabrak mobil truk yang gila melintasi jalan sempit.

Kau mau tahu apa yang terjadi kepada kami dan penduduk sekampung kami sekarang ini? Segala simbol kekayaan dari yang namanya sepeda motor sampai barang elektronik, telah diambil paksa oleh penjualnya (tentu saja karena kredit macet). Kami semua tak lagi mempunyai rumah yang layak, juga kesempatan bersantap yang hangat-hangat, apalagi bersantai maupun bersendagurau.

Seluruh kenangan telah pupus seiring bukit bekas kampung kami gundul. Sawah-sawah yang juga telah dijual, kering dan ditumbuhi lalang. Tinggallah kami menjadi buruh kasar, atau menjadi centeng di perusahaan batubara itu. Selain itu tak! Seperti tak sempatnya lagi para lelaki berkumpul di kedai. 

    ---sekian---    

Ref. Foto : pixabay

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun