Sekali malam aku juga melihat acara debat mereka yang tak lain hanya suara gonggongan, auman, ringkikan, atau suara-suara monyet kelaparan. Mereka mengabarkan tentang keburukan-keburukan. Membanggakan tahinya yang telah dibagi-bagi. Membanggakan kotoran harta untuk fakir miskin. Memberi tahi kok dipertontonkan!
Aku mulai tertarik anjuran teman-teman. Hidup memang tak boleh apatis. Bila sudah bosan melihat kebobrokan, tak boleh berpangku tangan. Melihat pemilu yang penuh tipu muslihat, tak mesti harus menjadi golput. Menjadi golput tak musti membuat perubahan, karena masih banyak yang tetap mencoblos dan memenangkan yang terburuk dari yang buruk.
Berdosa rasanya bila membirakan kondisi ini tak berubah. Aku mempunyai harta, kenapa takut mengeluarkannya demi menjadikan kota ini aman sentosa, adil dan makmur? Aku tak hanya didesak teman-teman mencalon bupati, tapi didukung massa yang menganggapku selama ini bersih. Aku orang bebas yang mustahil memiliki perpanjangan tangan untuk mempergunakan harta negara demi memuluskan kampanye. Apalagi? Lagipula soal agama kurasa aku lumayan paham. Dan ini bukan sombong, lho!
Masih mengenakan topeng Arjuna, aku menelepon Saiful, "Ful, lagi di mana?"
"Lagi di cafe sama teman. Ngopi! Jarang kelihatan, ke mana saja? Bagaimana tawaran kami? Seorang pentolan partai sepertinya tertarik pada jualanku. Aku menjual namamu dimajukan untuk mencalon bupati. Bagaimana? Dia siap mendukung kalau kau maju. Tak perduli kau awalnya dari calon independen. Dengan kendaraan partai diharapkan semua berjalan mulus. Kapan lagi berbuat baik untuk kota ini?"
"Aku sudah berpikir untuk mengiyakan desakan kalian."
"Nah, itu bagus! Kapan kita bisa bertemu? Ya, rapat khususlah dengan orang partai. Mumpung masih ada waktu sebelum pendaftaran calon jagoan ditutup."
"Nantilah!"
Klik!
Aku tersenyum puas. Bulat sudah niatku mencalon bupati. Segera kubuka lemari, mencari celana paling bagus, kemeja paling licin, jas paling mahal, kaos dan sepatu bermerk. Aku pun mengenakan semuanya dengan tergesa, dengan dada berdegup-degup. Perlahan berjalanlah seorang calon bupati menuju cermin. Aku ingin melihat gayanya yang memesona.
Namun hatiku mendadak kecut. Kulihat sosok dicermin tak lebih dari seorang berbadan bongsor dengan kepala berbentuk ular kepala kedua.Â
---sekian---