Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RTC] Senyuman yang Jatuh di Matanya

16 Januari 2019   09:19 Diperbarui: 16 Januari 2019   15:23 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu

Mata kami terpana melihat ombak setinggi dua meter lebih seperti lidah maut menjilat apa saja. Kami seakan di alam mimpi. Tapi, kami cepat terbangun. Berlarian lintang-pukang. Tak tentu tujuan. Mereka kuarahkan kembali ke villa. Berlari ke villa, berlari ke villa! Begitu aku meneriakkan. Kau tahu bagaimana kemelut yang kami hadapi? Ketakutan sangat menunggu jamahan maut, menyentak, dingin, dan seperti tak ada belas kasih.

Lidah maut itu ternyata lebih cepat menyeret kami. Manusia hanya berjuang, tapi, hasil akhir bukan. Aku menjangkau anak-anak. Tangan Fikri kutarik. Kaki Saodah kukepit. Terkadang apa yang telah dipelajari sampai ngelotok, ketika menghadapi sesuatu akan menghilang dan kelihatan bodoh. Aku seorang nakhoda. Aku tahu cara menyelamatkan diri dari belitan air. Namun, namun, namun....

Aku berhasil menghantarkan kedua anak ke bibir villa. Istriku entah hilang ke mana. Lidah ombak tak mau menyerah. Dia menghantam villa. Membuatnya porak-poranda. Serpihan-serpihan entah, mengoyak-ngoyak seluruh badanku. Gemuruh air menghilangkan gemuruh apa yang tumbuh di mata. Aku tak bisa membedakan yang mana jeritan, yang mana gemuruh air. Aku teringat istri, aku teringat anak-anak, teringat mendiang ayah dan ibu. Mereka menjemputku, menjemputku. Semua gelap. Semua dibekap. Aku tak ingat apa-apa selain air semakin banyak memenuhi lambung.

***

Sebelum itu

Sebuah rumah mungil dan asri bersinar pagi ini seperti ramahnya matahari menyambar dari balik pintu dan jendela. Kukatakan Fikri semakin gempal, dan dia tersenyum. Kuungkapkan Saodah mulai gemuk, karena cukup berat digendong, dan dia merengut. Aku terkejut, masih kelas enam esde, putriku ini sudah mengerti cantik. Meskipun gendut itu bukan berarti tak cantik. Contohnya istriku.

Hampir setiap malam di minggu-minggu terakhir di atas kapal, mataku sering tak bisa diajak kompromi. Badan lelah, ingin menjatuhkan sauh, lalu tidur tanpa mimpi. Kenangan segar, menjalar kepada keluarga, betapa kurasakan bekerja mandah di laut begini. Enam bulan aku menjadi nakhoda kapal tak pulang-pulang ke rumah seperti "Bang Toyib" yang sering didendangkan kawan-kawan. Enam bulan kemudian aku berhasil memperoleh cuti, lalu menjadi nakhoda yang namanya keluarga. Kau lihat istriku semringah? Kataku dia semakin terlihat gendut. Aku suka. Cubitan kecil di pipinya menambah mesra. Seringkali jarak yang memisah, waktu membagi kerja dan di rumah, membuat pertemuan itu lebih indah dari segala. Seperti segarnya air gunung yang mengalir dari pancuran. Seperti aroma alami saat-saat bunga berkembang di taman.

Ah, aku lupa mata-mata menuntut dari dua buah hatiku. Trip pertama yang mereka inginkan saat aku tiba di rumah, bukan hanya jalan-jalan ke mall atau seputaran kota. Mungkin ke luar provinsi. Mungkin ke gunung. Namun, kali ini mereka ingin menghabiskan malam tahun baru di pantai. Aku tersenyum puas. Trip yang kusuka. Badanku amat lelah, sehingga tak sanggup melanglang jauh-jauh. Pantai hanya berjarak puluhan kilometer dari rumahku. Pilihan trip yang sangat tetap. Dua pasang mata ini semringah. Bunda mereka memelukku erat-erat. Kukatakan dia terlihat semakin sehat dan gendut. Dia pun tersenyum.

***

Beberapa saat kemudian

Malam indah jatuh di atas teras. Angin dingin menyela-nyela pepohonan . Istri, Fikri dan Saodah menyeretku ke luar villa. Kata mereka tak baik mengabiskan malam yang indah dengan buru-buru berlabuh di peraduan. Fikri ingin menunjukkan bahwa dia sudah mahir memainkan gitar. Saodah mengajuk ingin memperlihatkan musikalisasi puisi. Oh, ya, aku lupa istriku mantan penyanyi. Penyanyi rumahan, maksudku. Perempuan itu mencupit pelan pinggangku. Katanya, aku juga semakin gendut terlebih di bagian perut. Masalah perut itulah yang menyebabkan aku teringat sesuatu. Aku berlari kembali ke dalam villa. Kuangkat tinggi-tinggi rantang lima susun. Tawa anak-beranak pecah. Tanpa makan sepertinya ada yang kurang menikmati malam dingin di bibir pantai.

Perlahan kami menuju bibir pantai yang telah menyemut manusia. Tua muda, besar kecil. Kami agak menjauh ke tempat yang lumayan sepi. Duduk lesehan di atas pasir. Pilihan pertama bagiku adalah makan. Fikri asyik menyetel gitarnya. Saodah menghadap laut sambil melantunkan puisi. Kataku, suara cemprengnya mengalahkan debur ombak. Dia merengut, memukuli lenganku. Saat itulah aku mendengar teriakan memutar angkasa. Orang-orang menunjuk ke arah laut. Orang-orang ketakutan. Aku dan seluruh keluarga saling bersitatap heran. Tapi, teriakan Fikri tentang air, membuat kami melesat bagaikan panah lepas dari busur. Kami harus menyelamatkan diri! Kami harus berlari menjauhi pantai!

***

Saat ini

Begitulah, akhirnya Asla menyelesaikan kisahnya. Matanya sembab. Air matanya tumpah. Istrinya, Fikri dan Saodah menatapnya sedih. Bau obat menyadarkan kami. Saatnya akan tiba. Tangisan tak akan mengalahkan kenyataan. Asla telah mengalami operasi di kaki---beberapa bagian. Bekas sabetan kayu dan remah-temah lainnya, membuat koyak-moyak di kakinya infeksi. Seminggu ini kembali menghasilkan nanah dan bau busuk. Tim medis memutuskan pilihan terakhir; kaki Asla mesti dioperasi. Kedua kaki itu. Kenyataan yang memutuskan hubungannya dengan dunia  normal. Kemungkinan besar dia tak bisa lagi bekerja sebagai nakhoda. Dia harus mengenakan kursi roda, dan mulai belajar menggunakan kruk.

Asla menangis sesengukan. Kubelai punggung tangannya. Setiap orang pada suatu waktu mengelami kesenangan. Begembira. Tertawa-tawa. Pada suatu waktu pula kesusahan menghampiri. Bersimbah tangis. Merasakan hidup akan selesai. Tapi, hidupmu tak akan selesai, Asla. Hidupmu baru dimulai dari sekarang. Dulu kau hidup dengan dua kaki, menjadi nakhoda yang gagah mengarungi seluruh samudera, mengunjungi beragam benua. Kini kau hidup tanpa kaki, menjadi orang biasa yang berpindah dari ruang tamu ke kamar tidur saja, membutuhkan perjuangan. Tapi, perjuangan itu bukan di jasad. Perjuangan itu di hati. Orang normal yang malas berjuang, hampir mirip mereka yang disabilitas. Mereka yang disabilitas dan kuat berjuang, malahan melebihi kesanggupan orang normal. Semangatlah, Teman!

Kulihat sinar itu di matanya. Bayang-bayang tsunami tak lagi melintas. Dia, temanku Asla, yang kuat, yang semangat. Engkau juga harus memberikannya semangat. Buatlah dia dan yang lainnya tersenyum, meskipun hanya menepuk-nepuk punggung tangannya bahwa mereka bisa. Mereka kuat. Mereka semangat. Bencana itu tetap datang dari dulu hingga nanti.  Ada yang hidup, ada yang mati. Tapi, semua tetap bergerak seperti jam, seperti bumi, seperti bulan, seperti planet-planet, seperti galaksi-galaksi, seperti senyuman yang jatuh di matanya.

---sekian---

karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Cerpen RTC Duka Indonesiaku 

img-20190109-wa0020-5c37578843322f3cb6206fb7-5c3ee97fbde57541616bca2f.jpg
img-20190109-wa0020-5c37578843322f3cb6206fb7-5c3ee97fbde57541616bca2f.jpg
Ref. Foto : pixabay

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun