Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Kami Masih Menjadi Manusia

13 Januari 2019   23:41 Diperbarui: 14 Januari 2019   00:09 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang kau cari Nyonya Besar, ketika pagi menyembul di ufuk Timur, dan gerimis mengajarimu bagaimana merasakan ramahnya lumpur pasar tradisional. Yang menggambarkan teriak bukan kemarahan, melainkan keramahan jelata apa adanya, tanpa dusta, tipu- tipu, seperti orang yang berada di sekelilingmu, Nyonya Besar. Mereka terpaksa menjadi teman setiamu hanya oleh sembulan harta dari tas jinjingmu yang berharga ratusan juta Rupiah.

Kau memasuki pasar tradisional seperti jijik melihat tanah becek sisa hujan semalam. Kau seolah lupa, tubuhmu yang bergelambir itu tercipta dari tanah, sama seperti moyangmu---Adam. Kau memasuki los ikan, dan mencari penjual paling lemah, paling tua, karena kau pikir mereka mudah dibodohi.

Kau bertanya kepada ibu tua tentang berapa harga satu pinggan ikan. Mendengar kata dua puluh ribu Rupiah, kau malahan mengejek bahwa harga tidak sepadan dengan ikan busuk itu. Padahal kau lupa bahwa jam 12 malam, ibu tua itu tahan berjibaku ke pasar induk, agar kau dapat ikan segar, nikmat dan sehat.

Bagimu uang dua puluh ribu Rupiah hanya layak mengelap sepatumu yang kebesaran. Tapi, masih kau tawar ikan si ibu tua, satu.piring lima belas ribu Rupiah.

Sementara kau tak tahu kalau itu adalah harga modal. Hanya saja sebagai penglaris, biarlah. Si ibu tua itu ikhlas, walau air matanya menetes ke dalam perut, sebab kau dengan tega memasukkan tiga ekor ikan ke dalam pinggan sebagai bonus.

Kau pasti tak tahu ada dua anak yatim-piatu menunggu si ibu tua beroleh untung besar, setidaknya bisa mewujudkan makan enak, yang selama melulu ikan asin. Tapi kau Nyonya besar yang tak punya hati. Kau bukannya memberi untung, malahan mempersembahkan buntung kepada mereka.

Kau sama sekali alpa ketika makan bersama keluarga besarmu, dan menghabiskan hampir tujuh ratus limabelas ribu Rupiah. Dengan gaya Nyonya Besar kau menyerahkan uang delapan ratus ribu Rupiah kepada kasir. Kau memang dermawan karena mengatakan 'ambil kembaliannnya' kepada kasir. Kau memang super baik hati. Padahal kau lupa bahwa dia memiliki gaji bulanan.

Tanpa kedermawananmu dia tetap hidup layak. Dia sama sekali tak jatuh miskin bila tak kau beri uang kembalian atau lebih jelasnya tips. Kau tahu uang pemberianmu mungkin hanya dijadikan modal happy-happy bersama teman-temannya. 

Dan aku tahu, banyak Nyonya Besar berperilaku serupa. Mereka lebih senang membuang garam ke laut, dan ogah memberikannya kepada mereka yang kekurangan yodium.


Aku lupa, apakah aku sama sepertimu---menjadi orang yang alpa akal sehat? Masihkah kita manusia?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun