Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mulut Besar

11 Januari 2019   22:56 Diperbarui: 11 Januari 2019   23:12 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Aku tinggal di lorong damai nomor 5. Seperti namanya, lorong ini selalu damai, meski menjadi tempat perlintasan orang dari jalan protokol di sebelah utara ke jalan kampung di sebelah selatan. Panjang lorong kurang lebih limaratusan meter. Cukuplah untuk tempat orang mengebut tak karuan. Karena selain lorong ini lurus, tak ada polisi tidur yang menggalang jalan. Penghuni lorong tak mau mengganggu kenyamanan orang berlalu-lalang, seperti itu pula tak ingin kenyamanannya diganggu.

Mungkin orang-orang berpikir, kedamaian tercipta, adalah tersebab penghuni lorong damai didominasi para terpelajar, atau orang yang taat beragama. Anggapan itu salah. Contohnya, aku hanyalah seorang wartawan karbitan yang bekerja di koran tertup; kadang-kadang terbit, kadang-kadang tutup. Tetangga-tetanggaku memiliki beragam profesi. Tukang becak, mamang bakso, janda merangkap perek, pemijat, tukang salon esek-esek, guru, ustadz, pendeta, biksu. Pokoknya beragam. Tapi semua akur. Semua saling membantu. Maka itu, orang-orang yang sengaja melintas di lorong kami selalu sopan. Tak ada sepeda motor yang mengebut.

Tapi pagi ini aku seperti melihat pesta suara cucakrawa. Aku yang biasanya bangun pukul sepuluh setelah begadang menulis berita atau cerpen malam harinya, terpaksa menghentikan kenyamanan memeluk bantal penuh liur dan bercak sperma. Segera kubuka daun jendela lebar-lebar sambil memicingkan mata. Cahaya matahari tepat menerpa dinding kamarku.

Di rumah sebelah kulihat Mak Yus dan Tante Im sedang ribut. Mak Yus memegang gagang sapu yang ijuknya sudah ompong. Tante Im mengacung-acungkan centong. Mak Yus bekerja sebagai pembantu, jadi wajar pegangannya sapu. Sementara Tante Im membuka warung makan di dekat kantor pemda kota. Sesiang ini dia belum pergi berjualan. Pasti karena dia pulang larut malam bersama preman pasar tadi malam. Aku memergokinya ketika pulang larut setelah mengencani pacarku. Dia tersenyum malu. Saat si preman pulang, dia mengetok jendela kamarku.

Katanya, "Jangan bilang siapa-siapa, yah! Aku malu kalau ketahuan pacaran sama preman pasar. Tapi tak apalah, yang penting banyak duitnya. Aku juga aman tak dipalak-palak preman lain." Kututup jendela setelah dia menyelipkan sebungkus rokok kretek di sakuku. Aku menyeringai sendirian. Rejeki nih, perangsang otak demi menulis cerpen minggu.

Hehehe, ada malu juga Tante Im. Dia pasti tak enak hati, karena Rojoki, tukang bakso di ujung lorong, sudah pernah mau melamarnya. Tapi perempuan ini menolak mentah-mentah. Ck, ck, ck!

"Setan kau!" teriakan itu menyadarkanku. Film pertarungan antara Mak Yus dan Tante Im masih berlanjut. Mungkin memasuki ronde kedua, setelah mereka terdiam sebentar karena melihatku menongolkan kepala di jendela.

"Setan apa?" balas Mak Yus. Anak majikannya merengek meminta dibuatkan susu. Namun emosi si Mak masih lebih besar daripada mengurusi anak majikan.

"Kalau menyapu jangan seenak perut begitu, dong! Aku kan lagi memasak. Nanti debu-debunya masuk ke mari." Hampir keluar bola mata Tante Im.

"Salah sendiri! Kenapa harus membuka pintu lebar-lebar!"

"Kan banyak asap, kampret! Pengap!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun