Siapa yang tak kenal si Gombak, preman wahid Pasar 16 Ilir? Tubuhnya besar serupa gajah. Perutnya tambun karena senang minuman keras. Sementara itu, dada, pinggang, dan lehernya bergelambir. Meski besar, tubuhnya cenderung gendut, nyalinya membanteng. Maka jangan sekali-sekali membantah perintah atau permintaannya. Tatkala dia sedang mabuk berat, dan selonjoran di gang pasar, kau juga harus menabikkan wajah setidak-tidaknya dengan senyuman. Kalau tidak, wajahmu bisa dikemplang memar-memar. Lebih parah lagi, perut bisa dilubangi dengan pisau cap garpu, lalu harus berurusan dengan rumah sakit umum. Gombak tak akan takut meski ditangkap aparat atas perbuatannya. Hanya hitungan bulan dia sudah bisa berkeliaran lagi di pasar. Sebab seluruh aparat kenal dan segan kepadanya.
Hidup Gombak dari hari ke hari hanya mengompas orang. Mengurusi anak bininya tak hendak. Dia tak peduli bininya yang sintal itu harus keluar masuk pasar dan lorong-lorong menjual penganan ala kadarnya. Dia tak mau pusing ketika subuh pulang mabuk, bininya telah menjadi sapi di dapur. Mengulen adonan, sampai menggorengnya di bara api yang membuat keringat melimpah. Anak Gombak tak bersekolah lagi demi menghidupi perutnya yang dekil dan kecil. Dia menjaja koran di simpang lampu lalu lintas. Dan yang paling memalukan, dia santai saja bilamana sang bini menjajakan penganan lain di sekitar BKB (Benteng Kuto Besak) di larut malam. Kau pasti tahu penganan apa itu! Dasar Gombak kampret!
Malam ini setelah memainkan drama satu babak bersama bini di bilik rumah kontrakannya, Gombak meliar ke Pasar 16 Ilir. Pikirannya buntu sebuntu koceknya. Siapa lagi yang bisa dikompas pabila malam telah larut, apalagi bergerimis begini? Padahal, perut Gombak telah keroncongan ingin dialiri minuman kunci atau topi miring. Teman-temannya sesama preman, sungguh tak bisa diharap berbagi kemabukan. Mereka sudah sejak maghrib berke-liaran di BKB karena ada tanggapan besar dari Jakarta. Dangdutan dengan biduanita seksi yang menari serupa bajing. Huek! Gombak benci itu. Bukannya tak bernafsu, malahan nafsunya menggila.
Lalu, hendak ke mana pelurunya yang menggelegak ditembakkan? Kepada sang bini, pastilah dia hanya mendapatkan punggung, sebab bininya telah lelah dan harus bangun dini hari. Mau ke lokalisasi, selain tak ingin penyakit joroknya kambuh lagi, dia juga tak memiliki cukup uang. Lagipula uang lebih baik dibelikan minuman.
Hmm, kesempatan emas! Tiba-tiba Gombak melihat seorang perempuan tua yang baru menggelar lapak sayurannya. Dia orang baru. Selama ini Gombak belum pernah melihat dia beroperasi di Pasar 16 Ilir. Jadi, patut dikompas sebagai perkenalan. Meski sudah renta begitu--karena harus dikasihani--lelaki berangasan ini tak peduli. Semakin renta semakin senang membentaknya. Dia tak mempunya kekuatan, selain repetannya yang panjang dan memekakkan telinga. Tapi, Gombak yakin perempuan tua itu tak akan berbicara banyak. Seluruh tubuh Gombak dipenuhi berbagai macam tato menyeramkan. Apalagi bila si belo, pisau kesayangannya dikeluarkan, praktis si perempuan tak bisa mengerem untuk terkencing-kencing.
"Uang... Cepat serahkan uangmu, Tua!" ancam Gombak. Si perempuan langsung pias. Buntelan kain di hadapannya langsung dia masukkan ke dalam tas. Gombak yakin isinya gumpalan uang. "Ayo, serahkan sedikit saja! Aku mau membeli minuman!"
"Maaf, Nak! Ibu baru sampai dari dusun. Masih penglaris. Tolong sejam-dua lagi kemari setelah pembeli ada."
"Aku tak peduli! Sinikan!" geramnya. Tangan gempal, gemuk dan liat itu langsung menjangkau tas si perempuan tua. Tapi, perempuan tua itu cepat mempertahankan haknya, sehingga terjadilah kejadian memilukan.
Gombak memukul dada perempuan yang pantas menjadi ibunya itu. Bunyinya ngek! Perempuan tua itu langsung terjengkang sambil bernapas sengau. Seorang penjaga pasar mencoba mendekat. Dia berusaha melerai perbuatan kasar lelaki yang tak berbudi ini. Namun bukan Gombak namanya bila mau dicegah begitu saja. Dia langsung membuka baju. Menunjukkan gelembung perutnya yang bertato kepala naga. "Apa kau mau turut campur? Hendak mampus?" Dia sengaja menonjolkan si belo yang terselip di pinggang.
"Bukan, Kak! Kasihan sama orangtua. Kalau mau membeli minuman, biarlah aku yang membayari Kakak," jawab si penjaga pasar takut-takut.
"Aku tahu isi kantongmu, setan! Sana, pergi jauh!" Gombak menarik tas perempuan tua. Mengaduk-aduk isinya. Setelah menemukan buntelan kain itu, dia mengambil uang sekitar seratusan ribu lebih. "Apa penglaris? Duitmu sudah banyak begini!" Dia menjejalkan buntelan kain yang masih digumpali sisa uang ke dalam tas. Tas itu dilemparkannya ke dada si perempuan, sehingga dia terjengkang untuk yang kedua kali.