Perbincangan demi perbincangan semakin lancar laksana arus air. Entah kenapa aku merasa kami memiliki banyak kesamaan. Sama-sama masih bujangan. Sama-sama suka memakai jins dan kaos. Sama-sama suka sepatu kets warna putih. Dan sekarang kami mengenakan jins, kaos, sepatu kets yang warnanya senada. Apakah dalaman kami juga sama? Aku tersenyum geli.
"Kenapa kau tersenyum?"
"Memangnya senyum dilarang?"
Kami keluar dengan perut kekenyangan dari gerai itu. Sebuah taksi mengantarkan kami ke rumah Pa Tua. Dia  mengenal dekat lelaki itu, setelah kuceritakan di gerai, tujuanku ke negeri Singa ini. Jadi, tak ada salahnya dia mengantarku ketimbang memilih pergi sendiri dengan risiko tersesat. Sungguh tak mengenakkan, bukan?
Taksi berhenti di depan sebuah rumah. Sebentar kami sedikit berdebat. Makan-minum di gerai, dia yang membayari. Kenapa pula urusan taksi, harus dia pula yang menanggung? Sebagai pemanduku, dia harus dibayar, bukan membayar.
Tapi tabiat kami ternyata sama. Keras kepala. Hanya saja sedikit aneh, kenapa aku kalah masalah keras kepala dengannya? Apa memang kepalanya sekeras batu? Refleks kuketok jidatnya. Dia mengaduh. "Ternyata tabiat dan kepalamu sama-sama kerasnya." Kami terbahak.
Seorang perempuan manis menyambut kami. Sepertinya dia sudah mengenal wajahku, dan terlihat sudah akrab dengan lelaki di sebelahku. Perempuan itu berlari ke dalam rumah, katanya ingin memanggil Pa Tua.
Aku memandang kawan baruku. Sejak pertama kali bertemu, aku belum tahu namanya. Sementara dia sudah tahu namaku. "Eh, dari tadi aku belum tahu namamu. Namamu siapa?" tanyaku.
"Apalah arti sebuah nama."
"Janganlah berperibahasa, Kawan."
"Itu bukah peribahasa. Itu perkataan pujangga besar." Dia terdiam sejenak, lalu berkata lagi, "Namaku, Safran."