Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Tikus-tikus dalam Otakku

8 Januari 2019   14:20 Diperbarui: 8 Januari 2019   17:59 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto: pixabay

Aku tersenyum puas. Sudah beberapa hari ini binatang sialan itu kapok mendatangi rumahku. Beberapa mati kuracun, dan kuletakkan bangkainya begitu saja di selokan atau di lobang biasanya mereka keluar-masuk. 

Beberapa masuk perangkap. Tak kubunuh, selain kupotong ekornya, telinganya, atau kulumuri cat tubuhnya. Biar mereka menjadi pengabar kepada yang lain, bahwa menyatroni rumahku adalah musibah besar.

Sekarang semua aman. Makanan tetap terhidang di meja di bawah tudung saji. Kapan saja aku melembur menulis sampai dini hari, dengan rasa lapar yang menggeliat, tak perlu lagi aku merutuk sepanjangan. Biasanya tudung saji terhumbalang, semua isinya centang-prenang. Tapi itu tak terjadi lagi, selain aku dapat menuntaskan rasa lapar tanpa gangguan apapun, termasuk gangguan kresak-kresek di loteng rumah.

Malam ini sebelum jam sepuluh, aku menulis cerita tentang binatang sialan itu. Sengaja kuhidangkan susu hangat pengganti kopi di meja kerja. Kusediakan dalam toples kecil gula-gula berasa mint pengganti rokok. 

Dan pada ketikan alinea pertama, tiba-tiba konsentrasiku buyar. Sesuatu menjalar cepat di atas lemari pakain. Tak kuhiraukan. Mungkin aku hanya bermimpi. Terdengar pula suara piring pecah. 

Ah, mungkin aku hanya berhalusinasi. Hingga seekor tikus menimpa gelas susu, menumpahkan seluruh isinya di atas laptop. Suara nyes menakutkan, mengawali matinya laptop. Dibagian papan keyboard berasap. Segera kucabut kabel yang tersambung ke stop kontak. Tikus itu kulempar dengan toples kecil. Suara prentang yang nyaring, mengguncang malam yang hening. Toples pecah. Seluruh isinya terburai di lantai.

Ternyata aku tak bermimpi! Ini kenyataan! Kubuka pintu kamar, dan melihat kapal pecah. Tak hanya hidangan di bawah tudung saji yang telah menjadi santapan lantai. Juga beberapa pialaku saat memenangkan lomba penulisan apa saja. Juga pot bunga yang paling sering dipamerkan istriku kepada teman-temannya. Untung dia sedang sowan ke rumah mertua. Jadi, aku hanya menceracau sendiri. Mengumpati tikus yang seolah balas dendam.

Di dapur, si manis menjerit kesakitan. Kakinya terjepit jebakan tikus. Cepat-cepat kubebaskan dia. Dia langsung menghambur melewati lobang angin di atas jendela. Perutnya yang tambun dia paksa melewati lobang angin yang sempit itu. Dan ternyata, ketakutan selalu saja membuat apa yang mustahil terjadi bisa kau lakukan, termasuk oleh si manis.

Saat merutuk panjang-pendek, cuping hidungku bergerak. Ada bau amis menyeruak dari teras. Sambil mengambil pemukul bola kasti, kudatangi bau amis di teras. Dan aku harus turut terkejut. Di teras itu, tepatnya di atas kursi rotan, seorang lelaki bertubuh kurus tengah menatapku sinis. Mulutnya yang runcing menghisap rokok dengan asap melebihi lebat cerobong pabrik.

"Pak Kusnen yang terhormat! Anda telah menancapkan bendera perang kepadaku. Dan bila aku marah, tak hanya dirimu yang akan habis dilumat rakyatku, juga istrimu, anak-anakmu, tetanggamu, bahkan seluruh isi rumahmu. Kalau perlu rumahmu sekalian akan rata dengan tanah." Begitu tajam amarah di matanya, seolah akan menyabet leher dan membuat kepalaku terkulai.

"Lho, harusnya saya yang marah kepada anda! Anda telah masuk ke pekarangan rumah saya tanpa ijin. Duduk di kursi rotan saya tanpa permisi. Lagi pula, tak ada jatah bertamu pukul sepuluh malam lebih. Bila kau bukan orang gila, pastilah maling. Kau  mau kuhantam dengan pemukul bola kasti ini?" Kugamang-gamangkan pemukul bola kasti itu di depan hidungnya. Dia tertawa terbahak-bahak. Tercicit-cicit kemudian saat pemukul bola kasti itu hampir menyentuh kepalanya. Dan aku terperanjat. Tak ada lelaki kurus di atas kursi rotan, selain tikus besar, tua, dengan tubuh gundul tanpa bulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun