Dia yang Malang
-1-
O, alangkah malang nasib anak itu. Sudah berbadan kurus, terhina pula. Bukan oleh sesiapa di luar sana. Melainkan oleh seseorang yang seharusnya melindungi dan mendidiknya. Atau, adakah dunia ini sudah berbalik, Kawan? Atau, inikah yang namanya jaman edan? Seorang ayah tega menghajar anaknya sendiri. Sebaliknya anak tak jarang berbuat serupa. Duhai, di mana lagi peri kemanusiaan? Peri kebinatangan saja tak sampai separah itu. Manusia sudah melebihi binatangkah?
Hari ini seperti yang sudah, entah pasal apa anak itu dihajar lagi oleh ayahnya. Tak hanya dengan sebuah tamparan, juga tendangan yang membuat tubuh kurus itu terjajar ke rusuk rumah. Kupintakan sesiapa saja wajib menolongnya. Kuharapkan adalah seseorang yang berani meredam amarah seorang ayah seibarat gila.
Oalah, lihatlah perempuan yang bergegas itu. Kemarahan juga memancar dari raut wajahnya. Â Akankah dia menambahi nista anak itu? Kau tahu, Kawan, dia itu istri baru si ayah. Artinya, dia adalah ibu tiri si anak kurus. Lengkaplah pula derita membebatnya.
"Kataku, hentikan semua ini!" geram si perempuan. O, kita salah, Kawan. Aku lupa. Sebelumnya, meski cap ibu tiru itu sangat jelek, konon perempuan satu ini berbeda. Telah berulangkali dia menyelamatkan anak itu dari amukan ayahnya. Dan kali ini, dia ingin berbuat sama. Kau lihat, dia sengaja membawa sapu bergagang rotan, yang pasti sakit bukan kepalang apabila dihantamkan ke tulang punggung.
Kesempatan bagus. Larilah anak kurus. Larilah. Biarkan si ayah yang payah itu menceracau menahan amuk. Larilah sejauh dapat.
Hei, kita sebenarnya belum mengenal kawan yang satu ini; si anak kurus. Siapa namanya. Usianya berapa. Berapa dia bersaudara. Sekarang dia sudah kelas berapa.
Supaya terang bagimu, dengarlah baik-baik. Nama anak itu Kecik. Ya, tepat! Kau menebak bahwa nama itu hanya ujar-ujaran saja. Konon karena dia bertubuh kurus seperti dihimpit dua bukit, maka orang lebih senang memanggilnya demikian. Tak perlulah kuberitahu nama sebenarnya di sini. Karena kau tahu, apalah arti sebuah nama.
Usianya  hampir lima belas tahun. Tapi sekarang dia tak lagi sekolah. Setelah ibunya meninggal, praktis ayah yang pengamuk itu tak lagi mau menyekolahkan Kecik. Pun setelah menikah dengan si Lila, itulah nama panggilan istri barunya, bukan amuknya berkurang, malahan bertambah tingkat demi tingkat. Entah setan apa yang bercokol di batok kepalanya.
Tapi usah risau, seperti yang telah diutarakan tadi, tentulah kita tak boleh bersyakwasangka bahwa si Lila itu yang mengobarkan amuk di dada ayah Kecik. Bukan, sama sekali bukan! Lila malahan sering menyelamatkan Kecik agar jangan lagi bernasib lebih naas, misalnya luka parah atau mati. Kasihan dia, ibarat sebatang kara, karena saudara pun tak punya.