Hidangan makan siangku hari ini begitu spesial. Daging rusa muda dengan saus barbeque yang mengguyur keseluruhan bagian daging dan acar rumput laut segar, serta segelas besar bir impor dari Jerman untuk minumanku. Ah, belum pernah kumerasa sebahagia ini hanya karena hidangan makan siang. Dan kurasa menu ini akan menjadi menu favoritku untuk selama-lamanya.
Mereka memperlakukanku dengan begitu baik dalam tiga hari belakangan ini. Berbeda dengan hari sebelumnya. Diriku diperlakukan layaknya binatang. Diseret, ditelanjangi, atau dipukuli. Kamar penginapanku dalam tiga hari ini juga lebih baik daripada hari sebelumnya yang hanya beralaskan tikar saja.
Di kamar baru ini terasa lebih nyaman untuk ditempati karena memiliki fasilitas seperti: bed cover empuk berwarna putih yang berada di pojok kanan kamar, sebuah kamar mandi kecil di ujung kamar bagian kiri, dan jendela yang langsung menghadap ke arah taman, meskipun harus dilapisi oleh jeruji. Namun, aku cukup mengapresiasi terhadap mereka karena telah melayaniku sepenuh hati selama tiga hari belakangan ini.
Sebenarnya aku belum pernah sama sekali mencicipi daging rusa muda beserta saus barbeque dan acar rumput laut. Tetapi, Kepala Sipir memberikanku satu permintaan istimewa. Kemudian dalam pikiranku terlintas daging rusa muda dengan saus barbeque dan acar rumput laut, serta sebuah bir impor untuk sekadar melengkapi hidangan spesial ini. Setidaknya aku harus berterima kasih kepada Kepala Sipir karena telah mewujudkan permintaanku.
Kepala Sipir merupakan seseorang yang menyambutku ketika pertama kali aku di sini. Dia menyambutku dengan sejumlah pertanyaan-pertanyaan membosankan, dan tidak ada semacam tarian adat atau jamuan selamat datang. Mungkin seperti itulah tradisi penginapan di sini. Entah, aku tak tahu jika itu berlaku untuk penghuni lain. Aku masih ingat pertanyaan apa yang sering dia layangkan kepadaku.
"Mengapa kaubunuh Gelandangan Tua Itu, wahai Anak Muda?"
Dengan ekspresi datar dia selalu menanyakan perihal kematian Gelandangan Tua Itu. Kurasa dia hanya sekadar menjalankan tugasnya saja daripada mengasihani atau berempati terhadap Gelandangan Tua Itu.
Aku merasa kasihan terhadap gelandangan itu. Tua, kurus, rapuh, lusuh, dan tak memiliki teman berbincang. Kebetulan malam itu aku membawa makanan yang kubeli dari pasar dekat tempat penginapanku sebelumnya di pusat kota, dan niatnya ingin kusantap untuk makan malam. Tetapi, ketika aku melewati gang kecil, aku melihat Gelandangan Tua Itu seperti lapar sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk memberi makananku kepadanya. Aku pun duduk bersamanya di emperan gang sambil berbincang dengan maksud menemani Gelandangan Tua Itu menyantap makan malamnya.Â
Aku begitu bahagia saat melihat Gelandangan Tua Itu menyantap makanannya dengan begitu lahap. Namun, perasaan bahagia di dalam hatiku beranjak begitu cepat. Aku langsung merasa sedih. Miris. Ironi.
Aku memikirkan Gelandangan Tua Itu jika tak ada seorang yang selalu memperhatikan dia untuk sekadar keperluan pangannya saja karena kata Gelandangan Tua Itu, dia belum makan selama tiga hari. Kemudian terlintas di benakku tentang kisah surga yang dipenuhi berbagai macam makanan beserta sungai khamr yang tak pernah kering airnya.Â
"Pak, saya ingin memberi bapak sebuah hadiah. Tetapi, bapak harus menutup mata terlebih dahulu." ucapku kepadanya.