Alat penangkapan ikan sebagai salah satu input usaha perikanan memiliki peranan yang penting dalam pengelolaan perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan mengenai Larangan Penggunaan Alat Tangkap kembali mencuat. Peraturan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 yang melarang penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (siene nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Pada tahun 2016 lalu telah dikeluarkan surat edaran nomor: 7/MEN-KP/II/2016 tentang Pembatasan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Cantrang di WPPNRI, nelayan diberi kesempatan menggunakan alat tangkap tersebut hingga 31 Desember 2016. Namun, atas desakan dari berbagai pihak, KKP akhirnya mengizinkan penggunaan alat tangkap cantrang hingga Juni 2017. Hal tersebut tercantum dalam Surat Edaran (SE) No B.1/SJ/PL.610/1/2017 tentang Pendampingan Alat Penangkapan Ikan yang Beropreasi di WPPNRI.
Susi menjelaskan kebijakan yang ditempuhnya ini demi keberlangsungan perairan Indonesia, seperti yang diamanatkan Presiden Joko Widodo kepadanya. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak bermaksud mematikan kehidupan masyarakat nelayan. Pemerintah justru ingin menyelamatkan kehidupan nelayan dengan alat tangkap yang ramah lingkungan. Alasan kenapa dilarangnya alat tangkap cantrang adalah karena telah mengakibatkan menurunya sumberdaya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumberdaya ikan. Hasil tangkapan cantrang dinilai sebagai alat tangkap yang kurang selektif terhadap ikan tangkapan. Biota-biota yang belum matang gonad dan memijah dapat tertangkap oleh alat tangkap cantrang. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya stok sumberdaya ikan.
Dampak pelarangan alat tangkap cantrang memang akan berdampak besar terhadap banyak nelayan, baik dari sosial maupun ekonomi. Dampak sosial yang ditimbulkan dapat berupa pengangguran. Peraturan Menteri ini menimbulkan pengangguran bagi anak buah kapal. Setiap satu kapal cantrang terdiri dari 15 anak buah kapal. Daerah Provinsi Jawa Tengah memiliki kapal cantrang sebanyak 10.758 unit, artinya dampak dari pelarangan alat tangkap cantrang akan merugikan lebih dari 160 ribu orang yang kehilangan pekerjaan. Diperparah lagi dengan distribusi spasial alat tangkap cantrang telah menyebar di hampir seluruh laut Jawa, yang terkonsentrasi di Selatan Belitung dan Selatan Kalimantan sampai Selat Makasar (Atmaja dan Nugroho, 2012). Menurut Soecahyo (2017), dampak ekonomi pemakaian alat tangkap yang kurang ramah lingkungan memang akan sangat dirasakan positif oleh nelayan dari sisi pendapatan, akan tetapi hanya dalam jangka waktu pendek. Hal tersebut dikarenakan akibat pemakaian alat tangkap yang berakibat kerusakan terhadap habitat dimana ikan tersebut hidup, maka juga berpengaruh terhadap kenyamanan ikan tersebut berada ditempat tersebut yang bisa berakibat ikan mengalami migrasi atau hilang. Ditambah lagi dengan penurunan jumlah sumberdaya ikan akibat penggunaan alat tangkap tersebut, selain tempat ikan berpijah rusak dan jumlah ikan semakin berkurang maka sering terjadi lebih tangkap atau yang biasa disebut dengan over fishing. Hal yang menjadi permasalahan saat ini adalah pelarangan alat tangkap cantrang menimbulkan permasalahan baru khususnya bagi ekonomi nelayan. Keputusan untuk mewajibkan nelayan meninggalkan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan tidak diiringi dengan upaya kompensasi penggantian alat tangkap tersebut. Biaya penggantian alat tangkap yang tinggi menjadi kendala nelayan untuk mengganti alat tangkap. Apalagi Menteri Susi mengatakan tidak akan memberikan uang bantuan terhadap nelayan dengan alat tangkap tidak ramah lingkungan
Penolakan terhadap pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang oleh nelayan dapat diwajari karena harga alat tangkap cantrang yaitu sekitar Rp 800 juta – Rp 1 miliar dan u ntuk mengganti alat tangkap, dibutuhkan biaya sekitar Rp 450 juta per kapal, apalagi distribusi pengunaan alat tangkap cantrang sudah menyebar luas di wilayah perikanan indonesia. Menurut Ketua Nelayan Cantrang Tegal, Tambari Gustam, peralihan cantrang ke alat tangkap yang dikehendaki pemerintah tidak gampang. Karena proses perubahan fisik kapal dan alat tangkap butuh biaya yang sangat besar. “Apalagi KKP hanya menjanjikan sebatas teori. Misalnya, kredit bank yang nyatanya susah,” nelayan cantrang belum siap menghentikan aktivitasnya. Menurutnya, nelayan menuntut pengunduran waktu yang rasional, paling tidak 2 tahun lagi agar peralihan cantrang ke alat tangkap yang diinginkan pemerintah dapat berjalan mulus dan tuntas.
Sumber:
Atmaja, S. B., Nugroho, D. 2012. Distribusi Spasial Upaya Penangkapan Kapal Cantrang dan Permasalahannya di Laut Jawa. J. Lit. Perikanan. Ind.18 (4): 233-241.
Soecahyo, Darmawan. 2017. Implementation Regulation From The Minister Of Marine And Fishery Regulation Number 2 2015: Case In Pasuruan Regency Kajian Implementasi Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015: Kasus Di Kabupaten Pasuruan. Economic and Social of Fisheries and Marine Journal. 2017. 4(2): 188-200
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-KP/2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H