Pada beberapa bulan yang lalu saya pernah membahas tentang metatesis, yang merupakan bagian dari perubahan fonem. Begitu juga dengan arkifonem, yang merupakan fenomena dari perubahan fonem. Metatesis dan arkifonem masih dalam satu lingkup yang sama, sama-sama terjadi karena adanya perubahan fonem.
Penuturan arkifonem sering terjadi di kalangan masyarakat luas pada saat berkomunikasi. Hal ini dikarenakan pelafalannya terdengar samar jika dituturkan. Sebelum mengetahui lebih lanjut mengenai arkifonem, mari kita ketahui dahulu defininya. Apa itu arkifonem?
Arkifonem adalah hilangnya kekontrasan dua fonem yang berbeda pada posisi yang sama, misalnya [b] dan [p] pada kata jawab dan jawap, sebab dan sebap, lembab dan lembap. Kedua kata terakhir apabila dilekati akhiran {-an} bentuknya menjadi jawaban. Jadi, di sini ada arkifonem /B/ yang bisa direalisasikan menjadi [b] dan [p] (Arifin, dkk, 2017:89).
Setelah mengetahui, apakah kalian secara tidak sadar pernah mengalaminya? Hampir seluruh pengguna bahasa, pernah mengalaminya, tetapi dilandasi dengan ketidaksadaran pada saat melafalkan fonem tersebut. Hasilnya, kesamaran fonem tersebut dapat mengakibatkan munculnya pelafalan kata yang tidak baku. Contoh saja pada kata lembab.
Orang beranggapan bahwa kata lembab dan sembab adalah bentuk kata baku, padahal kata tersebut tidaklah baku. Hal tersebut karena sudah mengalami pembiasaan pelafalan dalam menyebutkan fonem [p] menjadi [b] atau sebaliknya. Penyebab terjadinya kata tidak baku, tidak hanya disebabkan dengan kesalahan pada penulisan kata, tetapi terjadi juga karena kebiasaan dalam pelafalan.
Penuturan arkifonem dalam kajian Fonologi Bahasa Indonesia. Mengkaji tentang orang-orang yang terkendala atau tertukar antara fonem [b] dan [p]. Hasil yang didapat dengan sering mendengar pada saat bertutur, penggunaan arkifonem yang sering terjadi adalah kata sabtu dan saptu, jawab dan jawap, lembap dan lembab, dan sembap dan sembab.
Penggunaan fonem [b] dan [p] sering mengalami kekontrasan, karena penutur kurang menekankan bunyi pada fonem [b] di bagian faring, sehingga kurangnya menghasilkan bunyi dengung atau bas pada fonem [b]. Berbeda dengan fonem [p] yang lebih halus atau lebih rendah bunyinya pada saat pelafalan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penuturan arkifonem sering terjadi kesalahan pelafalan, karena kurangnya penekanan di bagian faring, sehingga hasil katanya akan tertukar bunyinya. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesalahan penuturan arkifonem, perlu adanya pembiasaan penekanan di bagian faring atau pernapasan pada saat ingin membunyikan fonem [b].
Untuk mengetahui info artikel sebelumnya, bisa klik di bawah ini.
Penggunaan Metatesis pada Kalangan Remaja (untuk mengetahui metatesis).
Mengenal 6 Organ dan Kerja Artikulasi (Alat Ucap Manusia) dalam Berbahasa (untuk mengetahui faring).
Semoga Penjelasan singkat ini bermanfaat.