Suara menggaung, aku terkurung bingung. Bintang-bintang saling  berkejaran. Lelaki berjambang itu mengabarkan, dia datang dari utara. Tergambar jelas dari marga yang membayang, tertempel di dada kiri.Â
Dia mengatakan bersedia membayar mahal barang itu. Nominal dengan digit sembilan angka, membuat kantong saya menggeliat. Nominal yang bisa melabuhkan martini berkotak-kotak. Saya akan mabuk berbulan-bulan. Saya juga bisa menggaet si bahonel bernama  Martini, bartender bar ini. Ha, istri kedua tepatnya!Â
Saya setuju. Saya mengatakan sebuah alamat. Dia menelepon seseorang, entah siapa. Tapi apa perduliku, apalagi dia akan membayar seluruh minuman yang saya habiskan semalaman. Termasuk yang jatuh berhambur di lantai karena insiden tadi malam. Memang lelaki di depan saya super kaya. Dia segera memapah saya menuju sebuah mobil. Kami akan mengambil uang pembayaran di suatu tempat. Mungkin karena saya mabuk  terlalu berat, saya tertidur.
Saya tiba-tiba berada di kursi empuk dengan beberapa wanita yang berjegot eksotis dan seksi. Musik berdentam-dentum. Lampu berkelap-kelap seakan ribuan blitz  kamera. Entah siapa yang menyiramkan minuman ke wajah saya. Rasanya segar.Â
Saya tersadar, dan melihat suasana sekitar. Ruangan berdinding coklat muda. Di mana saya. Ke mana lelaki itu? Nah, ini dia. Dia mengenakan pakaian coklat yang paling saya takuti. Saya berusaha kabur, tapi benda dingin menyarang kening. Gawat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H