Perlahan kau menghentikan tangisan yang menyayat dinding kamar. Ada gerakan sesenggukan tersisa  di bahumu. Tetiba aku merasa kalah.
Aku lupa, beberapa tahun lalu pontang-panting bersama suami, mencari jalan terbaik bagaimana mendapatkan amanah dari Tuhan. Tak kurang usaha sehingga kami bermaksud mengadopsi anak sebagai pemancing. Tak dapat kuhitung petugas medis hingga praktek perdukunan kami sambangi.
Pun Tuhan akhirnya berbaik hati memberikan anak perempuan, dirimu, meski tak sempurna karena kurang bulan. Bagaimana usaha keras kami mempertahankan nyawamu.
Kau sekarang sudah mengenakan seragam putih-merah hati. Setiap malam saat membuka pelajaran, aku selalu tak bisa mengendalikan amarah. Ingat a tapi kau lupa b. Ingat b lupa c. Lupa c ingat h. Aduh teramat letih, sekarang bercampur sedih melihat pergelangan  kakimu lebam akibat cambukan ikat pinggang.
Kau mendadak terbangun. Berteriak sedih. Lebam di kakimu hilang, karena kaki itu telah diamputasi. Matamu tajam menatapku, seakan menuduh aku telah mencuri kakimu.
Aku tersentak merasakan sentuhan lembut jemari mungil menyeka pipiku. Ya, Tuhan, ternyata aku hanya bermimpi.
"Kenapa Bunda menangis? Adek tidak apa-apa kok. Sungguh!" ucapmu dengan senyum lembut. Aku memelukmu erat sembari berderai air mata.
Pasti lebam di pergelangan kaki itu kelak bisa sembuh, tapi belum tentu luka di hatimu bisa hilang. Aku ragu, masihkah aku Bundamu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H