Angin dan hujan mengatap malam itu. Begitu dingin menyatu batu. Cintaku tetiba mendusin. Berlusin rindu ingin kuralat. Hanya sesal memadat. Perlahan bunyi detak jam dinding mengiringi tetesan infus menembus pergelangan tanganmu.Â
Tegas kerut usia memeta wajah itu, o, terlalu terlambat aku merawatmu. Kenapa sesal selalu datang terlambat? Ke mana ketika butuh itu luruh?
Mungkin beratus malam kau telah menjerit seakan menghitung desah napas derita, kapankah waktunya tiba. Kembali kepada ketiadaan, meninggalkan beragam luka.
Tapi aku ingin meminta maaf, Bunda. Berikanlah aku kesempatan melihat matamu membuka. Melihatmu terbang di pagi bening seperti rama-rama terbebas dari kepompong.Â
Aku ingin membeli mukena yang selalu kau impikan. Aku ingin untuk pertamakalinya mengimamimu. Kita akan jalan-jalan. Ke mana kau suka aku penuhi.Â
Aku teramat ingin membasuh kakimu yang teramat lelah mencakar kehidupan untuk anakmu ini. Aku akan meminta dengan tangis sejadi-jadinya, andai itu bisa membangunkanmu dari derita.
Dan lagi-lagi aku hanya terlambat. Sangat terlambat. Kau tak mungkin lagi membuka matamu. Tangan-tangan iba, menepuk bahuku. Menyuruhku bersabar. Menyuruh tabah, ikhlas bahwa yang hidup akan kembali ke alamnya yang abadi.
Pun ketika aku menjerit melihat keranda itu diusung. Liang itu segera menelanmu. Tanah merah membatasi kita. Hanya doa yang bisa menyertaimu. Pada saat sempat, meski terkadang lupa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI