Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mr. Postman Mengirimi Ibu Air Mata

28 November 2019   16:32 Diperbarui: 28 November 2019   16:55 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Aku mengenalnya saat berumur sekitar lima tahun. Lelaki parlente berpakaian oranye. Berjambang jarang dan berkumis tipis. Senyumnya ramah, manis seperti gulali. Aku pertama kali melihat dia ketika berhenti di halaman rumahku. 

Dia membunyikan lonceng sepedanya. Ibu tersenyum sambil menerima selembar amplop dari lelaki itu. Ibu mengangguk sopan, mungkin sebagai ucapan terima kasih. Sementara lelaki yang dipunggungnya tertulis MR. Postman---kelak kupanggir Emer (pelafalan dari Mr) ---mengelus sayang rambutku. 

Kurasakan sentuhannya seperti sentuhan seorang ayah. Ayah? Aku tersenyum bahagia. Emer memberi aku permen, dan langsung kumasukkan ke mulut. Sepintas Ibu mendelik. Dia memang benci melihatku memakan permen. Gigiku bisa habis seperti digigit belalang. Hei, apakah belalang memakan gigi? Ya, ya. Mungkin. Gigi yang rusak karena makan terlalu banyak permen, memang seperti perbuatan belalang saat mengunyah daun.

Entah kenapa aku tiba-tiba rindu sosok ayah. Mpok Ne sedang menjemur pakaian. Ibu kembali masuk ke kamar. Tampaknya  dia bahagia. Pipinya menyemburat merah. Apakah karena berita yang ada di dalam amplop  itu, ya?

Mpok Ne tertegun mendengar pertanyaanku tentang sosok ayah. Siapa dia, dan di mana dia bisa kutemukan. Mpok Ne terlihat gugup. Dia mencoba mengalihkan pembicaraan tentang seekor burung abu-abu yang bertengger di pucuk pohon. Apakah aku mau seekor burung? Aku menggeleng, dan melupakan cerita sosok Ayah. Apalagi saat Mpok Ne memberi aku sepotong roti. Aku pun memilih bersandar di tiang. Menikmati pagi yang beranjak siang. Hmm, roti  pemberian Mpok Ne berasa coklat. Aku suka. Tapi aku tak suka ketika Beruk menjawab tanyaku.

Dia itu sebenarnya cantik. Tapi mulutnya cerewet hingga kugelari Beruk. Dia sekarang duduk di tangga berjejer dengan Piah. Mereka ganti-gantian mencari kutu.

Beruk mengatakan ayahku banyak. Tiap malam boleh aku amat-amati tamu Ibu, adakah di antara mereka yang mirip aku. Bila ada, mungkin itulah ayahku. Dia ingin tertawa. Tapi tak jadi. Bersama Piah, dia menghambur setelah disiram Mpok Ne dengan air bekas cucian. Mereka mencak-mencak tanpa bisa melawan. Tubuh Mpok Ne dua kali besar Ibu.

Aku sayang Ibu. Aku tak ingin membuatnya susah. Jadi, aku tak pernah menanyakan sosok ayah kepadanya. Aku hanya diam-diam menuruti saran Beruk. Mengintip seorang demi seorang tamu Ibu. Hmm, tapi tak ada yang mirip aku. Rata-rata hidung mereka kelelep dibenam wajah yang gemuk. Sementara hidungku mancung, wajahku tirus.

Bila Ibu dan tamunya masuk ke kamar dan mematikan lampu, aku selalu ketakutan.  Suara Ibu sesekali menjerit. Aku marah. Ingin kuhajar tamu Ibu. Tapi aku masih kecil. Tunggulah aku besar, biar kuhajar para lelaki itu.

Tentang Emer---ada atau tidak Ibu---mulai sering bertandang ke rumahku. Awalnya dia suka membawa permen berbagai rupa. Tapi setelah dilarang Ibu, dia hanya membawa potongan roti tawar. Dia juga sering membawa majalah anak-anak. Kami akan rehat di bawah pohon rambutan. Dia membolak-balik majalah itu. Dia mencari cerita yang aku suka. Dia pun mulai membaca, meski sesekali melirik Ibu yang duduk di ambang pintu. Atau saat Ibu sedang menjemur pakaian.

Oh, ya. Aku heran, kenapa sejak ada Emer, Ibu selalu menjemur pakaian? Padahal itu pekerjaan yang dia tak suka. Akan hal Mpok Ne, beralih bekerja di dapur. Atau menghabiskan ludah, bertengkar dengan Beruk atau Piah. Atau dua-duanya sekalian. Tapi aku yakin Mpok Ne lebih kuat. Aku ingat ketika kambing bandot Om Balah melarikan diri saat akan dikubankan, dengan enteng Mpok Ne menghempaskannya. Hm, bagaimana seandainya aku yang dia hempaskan? Hahaha. Tapi tidak. Dia sayang aku. Dulu saking sayangnya, aku pikir Mpok Ne itulah ayahku. Namun ketika aku membandingkan bentuk badannya dengan Ibu, mereka sama saja. Artinya, dia itu bukan ayahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun