Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Si Tum Malas

19 November 2019   13:30 Diperbarui: 19 November 2019   13:39 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Sebuah kampung yang hilang dalam cerita. Kabut setia membekapnya dari pagi hingga malam. Di situlah hidup seorang lelaki. Berbadan kekar  dan tenaganya kuat. Lagi  berwajah gagah. Mudanya, dia digelari Stoom Walls. Mungkin karena dia sekuat alat berat beroda gelondongan besi yang hilir mudik di jalan saat pengaspalan. Dia kerap bergelut. Bahkan dengan orang yang  lebih tua usianya.  Pun selalu dia menang.

Tapi sejak dia menikah, tabiatnya buruknya mulai kelihatan. Setiap malam, dia tidur di atas pukul dua belas. Saat terbangun, orang sudah pulang dari sawah atau sekitar pukul sebelas siang. Istrinya bergebuk di sawah. Dia kuyup keringat. Pulang ke rumah dia harus memasak, dan pekerjaan lainnya. Akan hal mencium aroma kuah, Stoom terbangun berdecap-decap. Berdecap pula dia menghabiskan nasi satu bakul. Istrinya terpaksa memasak nasi yang baru, saat suaminya itu menepi di warung kopi. Berbual-bual hingga senja,sampai malam. Warna air kopi pun tak jelas lagi, antara hitam malam atau seterang fajar.

Kelakuan Stoom itulah yang membuat orang menggelarinya Tum Malas atau si Tum yang pemalas.

Seharusnya tugas suami yang membajak bumi. Istri hanya mengurusi rumah dan kebutuhan suami-anak.  Berkali orang menegor agar dia berobah. Tapi tetap saja dia kukuh dengan sifat pemalasnya. Hingga suatu siang, saat matahari bersinar terik, dia menghabiskan waktu di tempat teduh.Sambil memancing dan bertopang dagu, dia melihat seekor semut hitam berjalan di batang pohon kapuk. Dia terpincang-pincang. Sungguh beban yang dia bawa hampir menyamai besar tubuhnya.

Semut hitam itu perlahan naik ke sarangnya di atas pohon. Tapi belum sejengkal  memanjat, makanannya jatuh ke tanah. Dia mengambilnya kembali. Saat dia a memanjat, makanan itu jatuh lagi. Begitulah berulang-ulang. Hingga seekor semut lain datang membantu. Mereka berdua perlahan membawa makanan itu sampai ke atas pohon. Meski agak berat, tapi semut-semut itu akhirnya berhasil.

Seolah ada yang mengetuk hati Tum. Dia teringat rumah reotnya. Istri dan anaknya yang berpakaian sekadarnya. Hari-hari mereka tak pernah menikmati makanan yang bergizi. Hanya sayur encer, sambal, dan kecap. Sekali-sekali ditambah kerupuk. Sedangkan istrinya dari hari ke hari terlihat menyedihkan. Tubuhnya kurus kering. Dia selalu kelelahan. Berbincang-bincang saja dia ogah. Padahal dia memiliki  suami kuat dan gagah. Tapi pemalasnya bukan buatan. Maunya enak sendiri. Seperti kebiasan segelintir suami di kampung itu. Lagi pula apakah dia tak malu digelari Si Tum Malas?

Akhirnya dia membuang pancing itu ke sungai. Dia melamar pekerjaan kepada Juragan Amdan, memindahkan berkarung padi dari tengah sawah ke gudang. Juragan Amdan masih bercanda. Dia berpikir tidak mungkin si Tum Malas mau bekerja. Tapi setelah lelaki itu meyakinkannya, juragan pun menerimanya dengan ragu-ragu.

Ajaib sekali, pekerjaan yang biasanya baru selesai hampir maghrib, dengan adanya Tum, bisa diselesaikan sebelum ashar. Bukan main senangnya sang juragan. Setelah memberikan upah lumayan banyak, dia meminta besok hari si Tum mengangkut padi dari gudang ke penggilingan

Begitulah terus-menerus si Tum bekerja tak kenal menyerah. Perlahan kondisi keluarganya membaik, dan orang tak lagi menggelarinya si Tum Malas, tetapi si Tum Cadas.

Sapta, 191119

---sekian---

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun