Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Epilog Penulis

14 November 2019   17:02 Diperbarui: 14 November 2019   17:00 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pixabay

Ruangan itu tak begitu luas. Hanya diisi satu dipan, sepasang meja-kursi, dan seonggok laptop tua. Di situlah dunia Ayah dari pagi hingga senja. Kalau pun kami melihatnya selintas, paling tidak dia hanya ke kamar mandi untuk buang air kecil atau besar. Atau dia mengambil makanan di lemari. Selebihnya dia menghilang di dalam ruangan itu.

Terkadang aku berpikir, suatu saat Ayah tak keluar-keluar. Dia meringkuk di dipan. Bergelung di balik selimut tipis. Beberapa kali kami panggil, dia tidak menyahut. Sekali menyahut, hanya terdengar suara kepak sayap. Pintu dibuka Ibu. Seekor rama-rama besar menerabas dari dalam. Itukah Ayah?

"Ayahmu penulis," jawab Ibu sambil lalu. Dia buru-buru ke belakang rumah. Hujan deras sepertinya akan turun. Ibu tak ingin pakaian yang dia cuci beberapa jam lalu basah kuyup. Aku bingung mendengar jawaban Ibu. Apa hebatnya pekerjaan Ayah? Aku juga sudah bisa menulis. Malah Ibu sering menjewer telingaku karena kedapatan menggores mural di dinding kamar.

Suatu hari aku menyenggol adik hingga terantuk kursi. Hasilnya, dia menangis memekakkan telinga. Aku mendapat cubitan pedas dari Ibu. Suara tangisan dan ribut-ribut, membuat Ayah mengamuk. Dia keluar rumah sambil menceracau, "Lari, lari semua." Entah apa yang dia cakapkan, aku sendiri tak faham. Yang aku faham, sampai malam, Ibu terlihat selalu marah.

Pernah sekali aku melihat pintu ruangan itu terbuka. Aku diam-diam mengintip. Tak ada dia di dalam. Dengan berjinjit, aku masuk sambil menutup hidung. Di dalam itu sangat apek. Celana kolor Ayah bergelantungan bak kelelawar. Pakaian kotornya menumpuk. Laptop itu, debunya nyaris setebal bedak Bik Anom.  

Aku mencoba membaca buku-buku di bawah dipan. Hasilnya kepalaku berputar. Aku juga melihat piala-piala di pinggir meja. Juara apa saja Ayah? Apakah juara lomba lari balap karung? Oh, bukan! Aku terbata-bata mengeja p-u-i-s-i, lalu membacanya pusi. Apa itu pusi? Sial sekali aku belum mahir membaca. Ketika sedang pelajaran membaca di tk, aku memang suka bermain-main dengan teman sebangku. Aku hobi soal matemika, entah kenapa. Lebih sialnya lagi, ada orang yang menjewer telingaku. Ibu seakan naga marah menyemburkan api dari mulutnya.  Ayah yang mengetahui aku memasuki dunianya, hanya terdiam.

Tapi malam ini setelah selesai belajar, Ayah menemaniku menonton televisi. Aku melirik Ayah. Dia lelaki lucu. Ayah teman-temanku setiap pukul tujuh pagi sudah terbang. Baru kembali setelah senja. Teman-temanku terkadang dibawakan oleh-oleh makanan. Bahkan mainan. Ayah mereka  banyak uang. Sedangkan Ayah setiap pukul tujuh pagi masih di ruangan itu. Terkadang ketika aku pulang sekolah, aku mendapatinya mengambil makanan di lemari. Lalu, bles, dia menghilang. Selepas bermain, barulah aku temukan Ayah sedang membaca koran sore. Dia menanyakan aku darimana. Tentu saja jawabku habis bermain. Sehabis itu dia diam. Dia mulai lancar berbicara ketika kami sama-sama di meja makan. Menanyakan pelajaranku, juga Kakak. Dia kemudian mencubit kecil pipi adik. Si bontot itu asyik menghambur-hamburkan bubur. Menyembur-nyemburkannya. Ibu sampai kerepotan dibuatnya.

Aku terkadang  sedih melihat leher Ibu  telanjang dan pergelangannya kosong. Ayah belum pernah membelikannya kalung, apalagi gelang. Meski imitasi sekalipun. Ibu memang tak pernah menuntut macam-macam. Hari-harinya selalu tak lepas dari daster itu, atau sekali dua berganti daster lain. Aku tahu daster Ibu hanya lima. Warnanya sudah pudar. Aku juga sering mengintip Ayah dan Ibu berbincang tentang beras yang habis. Utang di warung Pak Ijo yang menumpuk. Juga sepatuku yang mulai bolong. Tentang baju seragam Kakak. Uh!

Ayah mengatakan tulisannya sedang seret. Kurang diminati penerbit. Tulisan Ayah tidak up to date. Entah apa arti up to date. Ibu kemudian mengatakan anak kecil tak boleh nguping. Aku terbirit menuju kamar. Aku memilih lebih cepat tidur dari biasanya.

***

Saat hujan deras mengguyur bumi malam itu, aku mendengar suara ayah melenguh di ruangannya. Ada apa dengan dia? Aku membuka pintu yang tak terkunci. Ternyata Ayah tak ada. Kupanggil-panggil dia, hanya lenguh yang terdengar dari arah laptop. Aku pun terkejut melihat Ayah melambai-lambai di layar kaca. "Ayah, Ayah," teriakku.

Seketika aku tersentak dengan tubuh bersimbah keringat. Aku menuju ruang tamu. Ibu dan Kakak sedang bersimbah air mata. Kata Ibu aku harus tabah saat Ayah pulang. Mungkin aku tak tahu apa maksud Ibu, dan aku memang tak tahu. Ketika ada ambulance di depan rumah, lalu Ibu dan Kakak menangis histeris, aku belum mengerti. Kakek yang kemudian menyabarkanku. Katanya Ayah sudah pergi. Pergi untuk tak kembali. Ayah ditabrak mobil saat mengambil uang entah di mana. Aku pun ingat cerita Midang ketika neneknya meninggal dunia. Neneknya juga pergi tak kembali. Seketika aku turut menangis histeris.

Tapi hingga berkeluarga, aku tetap tak pernah kehilangan Ayah. Dia masih di ruangan itu. Berhimpitan di rak buku. Manakala rindu, aku membaca bukunya. Dia tetap hidup. Hingga seribu tahun lagi.

Sapta, 141119

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun