Oleh: Rifal Yoga Pratama: Magister Manajemen Universtas Sebelas Maret.
Prespektif religiositas seseorang yang beranjak dari status quo
(Korelasi antara Moralitas dan Media Sosial Sebagai Alaram keimanan Umat Islam di Indonesia)
Secara historis pada masa kolonial hingga pada tahun 1990-an atribut hijab belum menjadi prinsip fundamental bagi kalangan siswa sekolah negeri. Hanya siswi yang menempuh pendidikan di sekolah swasta Islam yang diperkenankan memakai atribut tersebut. Pada tahun 1982 melalui peraturan pemerintah Indonesia No. 052/C/Kep/D.82 pelarangan hijab di sekolah negeri sangat ketat, meskipun pada akhirnya putusan itu dicabut pada tahun 1991 (Arief dan Husin, 2019). Setelah sekian lama pemakaian jilbab mendapat perlakuan diskriminasi dari pemerintah masa itu, pengaruh keberagaman yang sangat kental pada masa orde baru memaksa siswi untuk mulai belajar beradaptasi di masa reformasi. Pada situasi yang berbeda di Kanada misalnya, hijab juga menjadi peran mediasi dan adaptasi, sedangkan di Amerika Serikat mayoritas wanita muslim memilih mengenakan hijab karena alasan agama (Taylor et al. (2013).
Di Indonesia setelah masa reformasi, kesadaran beragama mulai tumbuh didukung dengan media yang memoderasi kesadaran iman. Peran komunitas Islam diduga kuat menjadi media penyebaran informasi keilmuan agama islam, sementara itu penyebaran yang awalnya dilakukan di masjid, kini telah bertransisi melalui media televisi dan radio, hingga pada akhirnya kemunculan internet mendukung penyebaran tersebut secara masif. Pada mulanya, muncul beberapa layanan internet seperti platform media sosial: Whatsapp, Line, Facebook dan YouTube dipergunakan sebagai sarana pertemanan dan komunikasi jarak jauh, kini sudah dimanfaatkan sebagian besar umat Islam sebagai sarana kepentingan penyebaran informasi keilmuan agama Islam.
Meningkatnya ketergantungan umat islam terhadap media sosial menjadi alaram penting dalam menjalankan rutinitas keimanan mereka. Sampai batas tertentu, praktik media sosial sulit dipisahkan dari praktik keagamaan. Diantara mereka menganggap bahwa aktifitas online sebagai bagian dari upaya mereka untuk meningkatkan religiusitasnya (Salma, 2018). Pengaruh ini yang kemudian muncul ditengah meriahnya euforia umat Islam di era pemerintahan presiden Joko Widodo pada tahun 2014, semua akses informasi dan layanan keagamaan eksis di media sosial hingga mempengaruhi dunia politik dan gerakan baru umat Islam. Bukti nyata terjadi dikalangan umat Islam pada 2016 silam, saat beredarnya video berisi ungkapan yang diduga menista agama atas dasar kepentingan politik menjadi trending topik kala itu. Mulanya, berasal dari salah satu ungkapan Basuki Tjahaja Purnama (Gubernur Ibu Kota 2014 - 2017). Ahok (nama panggilan dari Basuki Tjahaja Purnama) saat melakukan kunjungan di Kepulauan Seribu, Jakarta pada 2016 silam mencoba meyakinkan masyarakat disana untuk tidak khawatir terhadap kebijakan pemerintahannya jika dia tidak terpilih kembali. Namun terdapat ungkapan yang mungkin disikapi oleh masyarakat muslim sebagai penistaan agama:
"Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak- Ibu, nggak pilih saya (Beragama Kristen) karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu. Kalau Bapak-Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi (kesadaran) Bapak-Ibu,"
Ungkapan Ahok tersebut tidak sepenuhnya mewakili pernyataan lengkap yang direkam melalui video dengan durasi panjang. Video lengkap diunggah melalui kanal YouTube Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dalam durasi video yang panjang seorang oknum telah mengunduh lalu memangkas video tersebut dengan durasi yang lebih pendek kemudian mengambil bagian video yang mencakup kalimat Ahok tersebut. Salah satu potongan video tersebut lalu disebarkan oleh mantan jurnalis di Facebook. Video yang diunggah menuai reaksi beragam dikalangan umat Islam, mereka menuntut agar Ahok dipenjarakan. Pada akhirnya 2 Desember 2016 menjadi titik puncak dimana salah satu kelompok gerakan Islam (FPI) menyuarakan kepada masayarakat untuk hadir dalam aksi demo, diperingati sebagai gerakan 212 sebagai upaya mendesak pemerintah untuk bersikap adil dan tegas dalam menyikapi pernyataan Ahok yang diduga sebagai penistaan agama.
Aksi dari gerakan 212 berlangsung ramai, mulai dari masyarakat anatar kota, mahasiswa, tokoh masyarakat yang dinilai sangat antusias mengikuti. Menurut BBC News Indonesia (2016), sejumlah analisa menyebutkan jumlahnya diperkirakan 500.000 orang. Sedangkan Menurut Republika (2016) menyebutkan kisaran 2.000.000 orang yang hadir. Aksi tersebut menghasilkan putusan  pengadilan yang menetapkan  Ahok sebagai tersangka, jaksa menyatakan kasus yang dilakukan Ahok terbukti melanggar pasal 156 KUHP tentang permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan di Indonesia dengan tuntutan satu tahun penjara dan masa percobaan dua tahun (CNN Indonesia, 2017).
Sikap fanatisme muncul pada aksi 212 menjadi bukti bahwa media sosial berperan mempengaruhi religiusitas umat Islam yang berfokus pada tindakan prevention (pencegahan). Upaya provokatif dari gerakan FPI setidaknya menjadi pertanda munculnya gerakan baru yang mendukung solidaritas muslim untuk menyuarakan pembelaan agama Islam dan menentang tindakan skularisme yang ada di Indonesia. Seseorang yang bersikap spontan dalam penanaman pentingnya perubahan ke arah yang lebih bermoral merupakan individu yang berfokus pada prevention.
Schwab (2016) memberikan pemahaman mengenai orang-orang dengan fokus prevention yang kuat cenderung meniru perilaku panutan (yang dianut) yang membuat mereka tidak puas untuk mempertahankan status quo. Ini menandakan bahwa pemahaman untuk menjagaa moralitas demi sebuah tindakan tertentu adalah bukan untuk memelihara status quo, melainkan demi tujuan perubahan, demi tujuan yang lebih bermoral. Dalam fokus promosi, biasanya kelompok yang bersikap konservatif atau menentang upaya prevention selalu dominan untuk menghalangi tindakan yang mengacu pada pengambilan keputusan bermoral selanjutnya.