"Mereka yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah menyukai mereka yang berbuat kebajikan"
Di malam-malam Ramadhan ini, saya mengajukan pertanyaan kepada diri saya sendiri, apakah Allah mencintaiku?" Saya terus tergoda oleh pertanyaan ini. Kemudian saya ingat bahwa, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, cinta Allah kepada hamba-Nya diberikan kepada mereka yang memiliki sifat-sifat tertentu. Saya kemudian memutar ingatan saya untuk menemukan ayat-ayat itu, berharap dapat menjawab pertanyaan saya. Lantas aku temukan bahwa Allah mencintai al-muttaqin, orang-orang yang bertakwa dan ternyata namaku tidak ada dalam kelompok orang-orang ini.
Akibatnya, saya tidak berani menyebut diri saya sebagai seorang al-muttaqin. Luangkan waktu untuk mengingat bahwa Allah mencintai ash-shabirin. Hatiku berbisik bahwa kamu masih sering kurang sabar dalam melakukan dan meninggalkan perintah Allah. Sungguh pernyataan-pernyataan ini sangat sakit, karena ternyata kesabaran bukan bagian dari diriku.
Aku juga ingat bahwa Allah mencintai para mujahid. Lha kapan saya pernah berjihad atau paling tidak bersimpati pada mereka yang mujadid. Saya kembali berpikir-pikir di golongan inipun, rasanya saya tidak termasuk dalam kategori mereka. Selanjutnya, Allah berulang kali menyatakan bahwa Dia mencintai al-muhsinin, yaitu mereka yang melakukan perbuatan ihsan yang besar. Di klidor ini saya sedikit terhibur, paling tidak saya pernah berbuat baik kepada seseorang yang asing bagi saya, tapi ternyata untuk menjadi orang-orang muhsinin harus punya ketulusan tanpa pamrih, sedangkan saya berpamrih, agar disebut-sebut sebagai orang yang senantiasa berbuat baik. Dilorong ini, lagi-lagi namaku tidak ada pula di sana.
Di usia yang sudah lanjut ini, saya merasa malu ketika menyadari betapa sedikitnya kebajikan dan kebajikan yang saya lakukan. Bukankah dengan mengumpulkan berpundi-pundi kebajikan dapat meloloskan saya bergembira di taman eden? Jangankan taman eden, maunya saja tidak masuk dalam rongga hidungku.
Sampai dititik ini, aku terdiam di atas sejadah biru kesayanganku. Tubuhku menggigil, beku seakan berada di kutub utara. Oh Tuhan. Apakah harapan saya untuk dicintai oleh Allah telah sirna sama sekali?
Masih di penghujung malam-malam Ramadhan menggapai lailatul qadr. Slide demi slide berulang kembali mengenang hidup masa-masa silamku. Bertahun-tahun dalam hitungan bulir tasbih yang tak lepas dari jemariku yang mulai terlihat keriput. Sungguh aku telah berusaha memotret amal-amalku, sepertinya ada juga dan bisa sedikit tersenyum. Namun, getaran suara yang begitu halus, nyaris tak terasa, kalau seandainya tak punya sedikit rasa iman. Dari dalam dasar qalbuk tiba-tiba terkuak kalau aku...?! Tanya hatiku pada jiwa yang lagi mengambang, apakah kau yakin bahwa amal kecilmu murni untuk Allah? tidak terkontaminasi oleh riya? dan hal-hal lain yang dapat membuat amalmu sia-sia? Oh... Nasib diriku di penghujung malam-malam Ramadhan menggapai lailatul qadr, sepertinya sia-sia!
Momentum itu berkelebat, ketika jiwaku yang mengambang ini hampir kehilangan harapan, Allah tiba-tiba berkata, "innallaha yuhibbut tawwabin". Sungguh, Allah mencintai mereka yang bertaubat. Aku pun jatuh. Jatuh dalam pelukan Allah yang menyadarkan aku harus menyempurnakan wudhuhku, berdiri dan mengakui bahwa Dia Allah Maha Besar "Allahu Akbar"
Ayat ini sepertinya menampar dengan sangat keras pada diriku. Setidaknya, inilah yang berlaku untuk-ku dan orang-orang yang semirip dengan-ku. Kemudian segera kuucapkan, berulang kali, hingga air mata ini membasahi jenggotku, Astaqfirullah al-azhim wa atubu ilaih. Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'anni.
Semoga Allah mencintaiku dan Dia Allah berkata kepadaku "Sesungguhnya Aku (Allah) Maha Pengampun lagi Penyayang dan suka mengampuni, maka Aku (Allah) mengampunimu."
Ketika itu kesadaranku berada di titik terrendah dengan penuh pengharapan akan pengamunan dari Pemilik Ampunan. Dialah Allah Arhaman dan Arrahim.