Ketika seorang perempuan menginginkan pendamping yang lebih dewasa usianya, lebih mapan kehidupannya,lebih tinggi keintelektualan dan status akademisnya. Saat itupula perempuan menunjukkan kelemahannya sebagai manusia primordial tidak mandiri.
###
Dalam perjalanannya peran perempuan dalam kehidupan sosial kemanusiaan sangatlah suram. Dengan belenggu budaya patriarki, perempuan dalam kehidupannya selalu mendapatkan prilaku diskriminatif.
Bahkan dalam tela’ah kajian agama samawi yang mengamini peciptaan Adam sebagai manusia laki-laki pertama dan Hawa sebagai perempuan pertama, dijadikan alat paling ampuh untuk melegetimasi budaya diskriminatif yang sudah mengakar semenjak penciptaan manusia itu sendiri. Ketika terjadinya malapetaka yang mengakibatkan manusia, anak cucu Adam dan Hawa harus menempuh hidupnya dengan menjalani segala rintangan cobaan di dunia. Akibat kedua manusia pertama itu memakan makanan yang dilarang Tuhan.
Dr. Syarif Muhammad Abdul Adhim dalam bukunya Al-Mar’ah fil Islam wal Mar’ah fil Aqidati al-Yahudiah wal Masihiyah baina al-Ustgurah wal haqiqah,menerangkan dalam akidah orang Yahudi dan Masehi, dosa itu disebabkan oleh Hawa. Allah mengharamkan kepada Adam dan Hawa untuk memakan buah dari pohon yang diharamkan, akan tetapi ular membisikkan kepada Hawa agar memakan buah dari pohon tersebut dan Hawa membisikkan kepada Adam agar makan bersamanya. Lalu Adam berkata : “Sesungguhnya dia adalah wanita yang Engkau jadikan bersamaku, dia yang telah memberiku buah dari pohon itu maka aku memakannya”, (Bagian kitab “Perjanjian Lama” penciptaan 12;3)
Gambaran Hawa dalam Injil, bahwasanya dialah yang telah menggoda Adam memakan makanan terlarang, mempunyai dampak yang negatif terhadap keberlangsungan hidup para perempuan. harga mati bagi anggapan orang-orang Yahudi dan Kristen, bahwa perempuan mewarisi dosa dari ibunya (Hawa).
Semua perempuan yang merupakan anak cucu Hawa dianggap berdosa. Oleh karenanya, kehidupan perempuan merupakan upaya untuk menebus dosa warisan sang bunda Hawa. Tentunya selain sudah fitrahnya yang malang untuk mengandung dan melahirkan, perempuan kaum Yahudi dan Kristen harus rela selalu diperlakukan secara diskriminatif dalam tradisi patriarki yang memandangnya hina. Seperti halnya dalam memberikan saksi di pengadilan, dalam ajaran penganut Yahudi dan Kristen perempuan tidak diberikan jatah untuk itu.
Bahkan dalam sejarah Arab Pra-Islampun, tradisi adat lokal Arab pada umumnya memandang rendah kulalitas moral seorang perempuan. Qasim Amin tokoh feminis Mesir mengamini akan hal itu, dan mengakui jika Arab sebelum munculnya Islam pembunuhan bayi perempuan dibolehkan, serta laki-laki dengan seenaknya menikmati perempuan tanpa adanya tali hubungan syar’i dan tanpa adanya aturan yang membatasi, tentunya demi kemaslahatan bersama.
Disinilah ajaran Islam memancarkan nilai-nilai yang menawarkan pemahaman status kehidupan sosial yang lebih layak, sebuah dasar sistem gender yang egaliter. Islam hadir bag matahari yang menyinari bumi, yang menghilangkan pandangan hina derajat perempuan, lihatlah QS. Al-Ahzab 33:35 dan QS. Al-Am’am 6:164.
Tapi ironisnya, Indahnya esensi ajaran Islam itu tidak selamanya secara kontinu terpancar dalam kehidupan umatnya. Semakin jauh dari sumbernya dan seiring berjalannya waktu serta semakin luasnya penyebaran Islam, misoginis terus menyusup kedalam kehidupan umat muslim.
Ilmuwan Indonesia yang bergelar associate professor dan pengajar di Hobart dan William Smith College di Amerika Serikat Dr. Etin Anwar, dalam bukunyaGender and Self in Islam. Menyatakan pandangan misoginis bahwa perempuan tetap berbeda kedudukannya dalam ranah biologis, ekonomi dan politik, seakan-akan perempuan harus dikendalikan oleh laki-laki dalam budaya patriarki terus terjadi.