Hari ketiga setelah aku meminangnya. Hanya sebuah meja dan dua kursi yang berhadapan, selebihnya hanya aku dan calon istriku yang ada di ruang tamu lapas ini. Mukanya merah sarat amarah.
“Aku malu menjadi calon istrimu, calon istri seorang maling kambing. Untuk apa kau mencuri sementara mau tak mau kini namamu sudah menjadi namaku!”, cerocosnya tanpa memberiku sela.
“Kita sudahi saja sampai disini!”, lanjutnya sambil menggebrak meja.
Ah, aku tak bisa bicara. Hatiku bergetar melebihi getaran meja. Mukanya kian memerah, juga telapak tangan kirinya. Sempat kulihat kambing yang melingkar di jari manisnya itu meringis kesakitan lantaran telah dengan keras membentur meja.
===============================================
-Riph-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H